Pengusaha RI Harap-harap Cemas Nego Damai Rusia-Ukraina
Jakarta, CNBC Indonesia - Pengusaha di Indonesia tengah menanti hasil perundingan damai antara Rusia dan Ukraina. Pasalnya, negosiasi itu akan menentukan, apakah perang antar kedua negara itu bakal segera berakhir atau berlarut-larut. Jika tidak ada kesepakatan damai, tentu akan berdampak pada harga dan pasokan komoditas dunia. Yang sebelumnya sudah cetak lonjakan harga akibat menggeliatnya perekonomian pasca-pengetatan pembatasan aktivitas sosial dan ekonomi saat pandemi Covid-19.
Gangguan cuaca dan rantai pasok, inflasi yang memanas, hingga perang Ukraina-Rusia diakui memicu efek psikologis bagi sektor usaha. Yang berdampak pada kenaikan harga disertai upaya mengamankan pasokan di tengah ketatnya stok yang semakin terbatas.
Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono mengatakan, perang Ukraina-Rusia yang memicu lonjakan harga minyak mentah dunia secara otomatis mendongkrak kenaikan biaya produksi.
"Tentu saja harga bahan baku jadi naik. Dan, kenaikan ini menjadi lebih cepat sekitar 2-3 minggu karena biasanya kenaikan harga baru terjadi di bulan April setelah pabrik melakukan overhaul. Namun, karena situasi agak panas, perang bikin harga minyak naik, harga bahan baku sudah mulai bergerak dari sekarang," kata Fajar kepada CNBC Indonesia, Selasa (1/3/2022).
Jika harga minyak dunia terus naik tembus US$100 per barel, kata dia, harga resin plastik bakal naik sekitar US$100-200 per ton dari saat ini berkisar US$1.300 per ton.
"Karena itu, kita masih wait and see. Kalau perangnya nggak lama, harga minyak bisa turun lagi, tentu akan diikuti penurunan harga resin plastik. Sekarang ini kan perang biasanya nggak lama. Dan, katanya mereka sudah melakukan perundingan damai. Mudah-mudahan perangnya nggak lama, nggak lebih 2 minggu. Tapi kalau perangnya lama, berbulan-bulan, tentu harga-harga akan bergerak naik," ujarnya.
Saat ini, lanjut dia, harga resin sudah bergerak naik US$20-30 per ton. Hanya saja, imbuh dia, industri belum melakukan pembelian besar-besaran karena masih berharap perang tidak lama dan permintaan belum meningkat.
"Biasanya, industri mengantisipasi lonjakan permintaan itu di 2 bulanan sebelum Ramadan-Lebaran. Mungkin baru minggu depan mereka mulai membeli. Dan, saat ini mereka juga masih punya stok. Sekarang, resin naik US$20-30 per ton belum terlalu bikin kenaikan pembelian. Mungkin kalau tidak ada solusi damai, minyak naik terus, resin naik lagi, pasti akan dibeli berapa pun. Karena momentum permintaan Puasa-Lebaran," jelas Fajar.
Menurut Fajar, biaya kemasan untuk harga jual produk tergantung jenis.
"Biasanya untuk kemasan produk cair itu butuh standing pouch, lebih mahal. Dampaknya bisa 10% terhadap harga barang. Kalau botol itu sekitar 7,5%, sementara kemasan yang plastik biasa sekitar 3,5%," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, harga kemasan tidak berpengaruh banyak bagi harga jual produk. Apalagi, ujarnya, jika produk jadi dalam kemasan masuk kategori mahal.
"Kalau harga produknya murah, memang biaya kemasannya bisa lebih mahal. Tapi, meski akan ada kenaikan harga kemasan saat ini, tidak langsung kita menaikkan harga jual. Kemungkinan kita masih akan bertahan dengan mengurangi margin. Karena kita juga sudah menaikkan harga jual di awal tahun 2022, rata-rata sekitar 5-7% karena lonjakan harga bahan baku di tahun 2021," kata Adhi.
Karena itu, lanjutnya, jika harga resin atau biji plastik naik sekitar US$50 per ton atau 3%, belum akan memicu kenaikan harga jual produk makanan dan minuman olahan.
Kita nggak mudah menaikkan harga. Jadi, bertahan dulu dengan margin yang tergerus. Dan, kita juga masih memantau perkembangan perang Rusia-Ukraina, semoga nggak sampai berbulan-bulan. Memang, industri biasanya memiliki stok bahan baku untuk 1-2 bulan, tapi kalau negosiasi damai tidak berjalan, bisa berdampak ke psikologis. Harga-harga naik, kemudian akan ada peralihan sumber pasokan yang tentu berdampak ke Indonesia," ujarnya.
Jika perang Rusia-Ukraina berlarut-larut, kata dia, bukan tidak mungkin industri harus mempertimbangkan strategi jangka panjang mengantisipasi efek domino yang timbul.
"Sekitar 26% kebutuhan gandum kita dari Ukraina. Kalau pasokan dari Ukraina ke Eropa terhenti, Eropa akan mencari sumber pasokan dari negara lain. Terjadi kenaikan permintaan, harga akan naik luar biasa. Otomatis berdampak ke Indonesia. Untuk itu, industri akan terpaksa mempertimbangkan bahan baku alternatif pengganti gandum, misalnya tapioka atau mokaf," kata Adhi.
Di sisi lain, Fajar menambahkan, jika perundingan damai Rusia-Ukraina terwujud, harga minyak akan melandai. Meski, diprediksi tidak akan jauh meninggalkan level US$80 per barel. Sehingga, kenaikan resin kemungkinan tidak akan melampaui US$100 per ton.
"Yang jelas, naik atau tidak harga resin plastik tidak berdampak banyak pada pasar. Karena yang menentukan itu demand. Tahun 2022, demand akan lebih baik lagi," kata Fajar.
(dce/dce)