Cerita Sri Mulyani, Saat 3 Krisis Hantam RI 30 Tahun Terakhir

Lidya Julita Sembiring, CNBC Indonesia
Jumat, 25/02/2022 12:05 WIB
Foto: Menteri Keuangan Sri Mulyani (Tangkapan Layar Youtube Sekretariat Presiden RI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dalam 30 tahun terakhir, Indonesia menghadapi tiga krisis yang begitu berat. Ini berdampak sangat signifikan terhadap perekonomian dalam negeri.

Ketiganya adalah krisis moneter pada 1997-1998 silam, krisis keuangan 2008-2009 hingga krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19.


"Dalam 30 tahun terakhir kita menghadapi 3 krisis besar yang pernah menghantam Indonesia. Dampaknya begitu luar biasa," ujarnya dalam webinar pembukaan LPDP, Jumat (25/2/2022).

Pertama, untuk krisis keuangan tahun 1997-1998 terjadi di Indonesia dimana melanda perbankan sehingga pemerintah harus melakukan kebijakan extraordinary atau luar biasa dengan bail out yang begitu mahal. Bahkan kebijakan tersebut menjadi warisan sampai saat ini.

"Itu yang sampai hari ini kalau kalian dengar bagaimana pemerintah berupaya mendapatkan kembali dana BLBI, itu adalah warisan 97-98," jelasnya di depan peserta webinar.

Lanjutnya, krisis tersebut sangat menghantam Indonesia tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi hingga 13%. Sehingga memaksa pemerintah terutama kementerian keuangan harus bertransfomasi, sekaligus melahirkan beberapa Undang-Undang.

"Kemudian kita bangkit dengan melakukan perbaikan. Perbaikan reformasi yang kalian nikmati, yakni di bidang keuangan negara. Pengelolaan APBN jauh lebih transparan dan kita bisa jadi instrumen fiskal yang terus mengatasi masalah pembangunan. Ini adalah buah dari krisis 97-98, ada UU keuangan negara dan UU BPK," jelasnya.

Kedua adalah krisis keuangan tahun 2008-2009. Hal ini tidak terjadi di Indonesia melainkan di Amerika Serikat (AS) dan Eropa namun dampak dan guncangannya sangat terasa ke dalam negeri.

"Ini adalah krisis skala besar sehingga disebut krisis keuangan global. Waktu itu Indonesia, dan sektor keuangannya tetap resilient. Namun krisis global melahirkan reformasi di sektor keuangan terutama bank sentral dan pengawasan keuangan, di situ lahir UU OJK. Kita belajar dari krisis keuangan global," kata dia.

Ketiga adalah krisis pandemi Covid-19. Ketika muncul pada tahun 2020 silam berhasil menghantam perekonomian hingga terkoreksi begitu dalam.

Ini adalah krisis yang paling sulit di bidang kesehatan karena tidak bisa diprediksi kehadirannya dan selesainya. Sehingga mengharuskan pemerintah kembali melakukan kebijakan extra ordinary baik di sisi kesehatan maupun non kesehatan.

"Kita lihat dalam 2 tahun setengah ini, tiba-tiba anak-anak kita harus belajar dari rumah, dan banyak kegiatan ekonomi bertransformasi kepada dan andalkan teknologi digital," paparnya.

Lanjutnya, semua krisis ini sama beratnya namun pasti memberikan pembelajaran dan menghasilkan suatu yang baru. Sebab, setiap krisis mengharuskan negara bertahan dan mencari solusi untuk menghadapinya.

"Jadi setiap krisis mengharuskan kita untuk membuat suatu kebijakan yang baru. Memang sulit namanya tantangan namanya krisis pasti tidak mudah. Namun kita tidak menyerah," pungkasnya.


(mij/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: AMRO Ungkap Risiko Pembengkakan Rasio Utang RI Terhadap PDB