Energy Outlook 2022

Siap-Siap Menyambut Rekor Harga Minyak Dunia di US$ 150/Ton

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
24 February 2022 08:20
INFOGRAFIS, 10 Negara Penghasil Minyak Terbesar di Dunia
Foto: Infografis/10 Negara Penghasil Minyak Terbesar di Dunia/Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia mengalami volatilitas tinggi selama era pandemi. Sempat berada di area minus pada 2020, harga energi utama dunia ini berbalik menguat dan sempat menyentuh level US$ 100 per barel di 2021. Lanjut di 2022?

Sepanjang tahun lalu, harga minyak mentah dunia meroket, di mana minyak jenis Brent melesat 50,12% dalam setahun, sedangkan jenislight sweet(West Texas Intermediate/WTI) meroket 55%. Pencapaian tersebut menjadi yang terbaik sejak tahun 2016.

Lonjakan harga minyak mentah tersebut didorong oleh tingginya permintaan karena pelonggaran aturan mobilitas masyarakat. Permintaan minyak mentah pada 2021 meningkat 5,5 juta barel per hari (bph) dari 2020 menjadi 96,5 juta bph.

Permintaan bahan bakar menjadi pendorong utama permintaan minyak tahun 2021 dengan kenaikan 1,7 juta bph menjadi 25,4 juta bph. Dari sisi pasokan, produksi minyak dunia jatuh pada 2020. Meski mencoba bangkit, pasokan tak bisa mengejar laju permintaan yang tinggi.

Tahun ini, harga si emas hitam masih berpeluang naik lagi dan bahkan bisa menembus level US$ 100/barel, menyusul masih adanya beberapa faktor kuat yang menjadi penopang tren bullish seperti ketidakseimbangan permintaan dan pasokan, hingga ketegangan di Eropa Timur.

Faktor pertama muncul dari persoalan pandemi. Mobilitas masyarakat yang semakin longgar setelah vaksinasi massal di beberapa negara diprediksi akan kembali meningkat, terutama setelah varian terbaru yakni Omicron diketahui tak memicu gejala parah.

Beberapa negara menyatakan berdamai dengan Covid-19, salah satunya Inggris. Ketika mobilitas dibuka, permintaan minyak akan meningkat terutama dari sektor transportasi sebagai konsumen terbesar, terutama setelah permintaan avtur di dunia penerbangan kembali pulih.

International Energy Administration (IEA) memperkirakan permintaan minyak dunia akan meningkat sebesar 3,2 juta bph tahun ini. menjadi 100,6 juta bph menyusul pelonggaran pembatasan sosial.

Masalahnya, lonjakan permintaan tidak sejalan dengan kenaikan produksi yang lamban. Pandemi telah memaksa penutupan atau pengurangan kapasitas produksi kilang minyak, sehingga tak semudah itu membalikkan kembali produksi guna mengikuti permintaan pasar.

Dengan demikian kenaikan harga minyak karena faktor fundamental yakni lonjakan permintaan akan mendapatkan katalis tambahan dari faktor fundamental juga, yakni dari sisi pasokan yang masih terbatas. Dua hal ini memicu ekspektasi harga energi utama dunia ini akan terus melesat.

Kesenjangan antara produksi lapangan dan target yang dipatok aliansi Organisasi Negara Pengekspor Minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC+) menjadi faktor kedua yang mendongkrak harga minyak mentah.

Ketimpangan suplai dan permintaan minyak ini diprediksi memburuk karena beberapa anggota OPEC+ masih berkutat dengan persoalan di lini produksi, sehingga memperburuk situasi ketat di pasar. IEA mengatakan kesenjangan antara target dan produksi pada Januari telah melebar menjadi 900.000 bph.

Artinya, OPEC+ berulang kali gagal menaikkan target produksi. Ini akan membuat pasokan minyak tetap tertinggal sementara permintaan melonjak. Dus, harga minyak dunia pun berpeluang meninggi.

Sementara itu, stok minyak dari negara maju-yang menjadi anggota Organisasi Kerja-Sama Ekonomi dan Pembangunan (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD)-anjlok hingga 60 juta barel pada Desember, menjadi 255 juta barel.

Jumlah ini berada di bawah rata-rata 5 tahun dan berada pada level terendahnya dalam 7 tahun. Selama 12 bulan terakhir, stok industri telah turun 355 juta barel meskipun mereka telah mengambil lebih dari 50 juta barel minyak dari cadangan pemerintah.

Sentimen ketiga muncul dari ketegangan perang di Eropa Timur karena pasar mengkhawatirkan potensi gangguan pasokan akibat konflik di Ukraina, di mana Rusia memproduksi sekitar 10 juta barel minyak per hari.

Tidak heran, Morgan Stanley memperkirakan harga minyak bisa menyentuh kisaran US$ 90/barel pada kuartal III-2022. Stok yang terus menipis dan terbatasnya investasi migas baru akan membuat pasokan menjadi terbatas sehingga mengerek harga.

Economist Intelligence Unit (EIU) memperkirakan minyak pasti bisa reli di atas US$100 per barel, terutama jika pasokan OPEC+ terus tertinggal dari target mereka, sementara produsen Amerika Serikat (AS) gagal merespons dan krisis Ukraina-Rusia memburuk.

Sementara itu, JPMorgan lebih berani dengan perkiraan harga minyak bisa menyentuh US$ 125/barel tahun ini. Pada 2023, harga diperkirakan bisa lanjut menguat, mencapai US$ 150/barel atau tertinggi sepanjang masa, menggeser rekor sebelumnya di US$ 147,27/barel pada Juli 2008.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular