Skandal! 18.000 Akun Klien Bank Besar Ini Bocor, Ada Penjahat
Jakarta, CNBC Indonesia - Credit Suisse tersandung skandal baru. Beberapa surat kabar melaporkan lebih dari 18.000 akun di perusahaan perbankan investasi tersebut bocor, Minggu (20/1/2022).
Informasi yang bocor, mencakup rekening senilai lebih dari US$ 100 miliar. Ini berasal dari seorang pelapor yang berbagi temuannya dengan surat kabar Jerman Süddeutsche Zeitung.
Surat kabar itu kemudian melibatkan kelompok antikorupsi dan 46 media lainnya di seluruh dunia. Termasuk The New York Times, Guardian, dan Le Monde.
Dalam data yang bocor, disebutkan bahwa klien dari bank terbesar kedua Swiss itu termasuk orang-orang dengan karakter buruk. Seperti penjahat, tersangka pelanggar hak asasi manusia (HAM) dan individu yang terkena sanksi, termasuk diktator.
"Pemegang rekening termasuk kepala mata-mata Yaman yang terlibat dalam penyiksaan, pejabat Venezuela yang terlibat dalam skandal korupsi, dan putra mantan diktator Mesir Hosni Mubarak," tulis CNBC International mengutip laporan, Senin (21/2/2022).
Menurut rilis dari Proyek Pelaporan Kejahatan dan Korupsi Terorganisir (OCCRP), rekening tersebut sudah dibuka sejak lama. Dari tahun 1940-an hingga 2010-an.
"Saya sudah terlalu sering melihat penjahat dan politisi korup yang mampu untuk tetap melakukan bisnis seperti biasa, apapun situasinya, karena mereka memiliki kepastian bahwa keuntungan haram mereka akan disimpan dengan aman," kata Paul Radu, salah satu pendiri OCCRP.
"Penyelidikan kami mengungkap bagaimana orang-orang ini dapat melewati peraturan terlepas dari kejahatan mereka, sehingga merugikan demokrasi dan orang-orang di seluruh dunia."
Menurut The New York Times, yang mengutip mantan kepala badan anti pencucian uang Swiss, bank-bank Swiss tidak seharusnya menerima uang yang terkait dengan kegiatan kriminal. Undang-undang kerahasiaan negara ketat yang melindungi klien sebagian besar tidak ditegakkan untuk itu.
Sementara itu, Credit Suisse mengatakan dalam pernyataan bahwa mereka menolak tuduhan yang dibuat tentang praktik bisnisnya. Hal-hal yang disajikan sebagian besar bersifat historis.
"Dalam beberapa kasus sejak tahun 1940-an, dan laporan tentang hal-hal ini didasarkan pada informasi yang sebagian, tidak akurat, atau selektif yang diambil di luar konteks, yang mengakibatkan interpretasi tendensius terhadap perilaku bisnis bank, " kata bank tersebut.
"Sekitar 90% dari akun yang bocor telah ditutup atau sedang dalam proses penutupan sebelum penyelidikan media dimulai," kata bank lagi.
Credit Suisse menambahkan bahwa mereka tidak dapat mengomentari klien individu. Tapi, telah mengambil tindakan untuk menangani klien yang tidak pantas.
Selama beberapa dekade terakhir, raksasa keuangan yang berbasis di Zurich ini telah berpindah dari satu krisis ke krisis lainnya. Ini seiring dengan perannya dalam membantu kliennya mencuci dana haram, melindungi aset dari perpajakan, dan membantu korupsi.
Pada tahun 2014, bank tersebut mengaku bersalah karena membantu orang Amerika mengajukan pengembalian pajak palsu dan setuju untuk membayar denda dan restitusi sebesar US$ 2,6 miliar. Tahun lalu, mereka setuju untuk membayar US$ 475 juta untuk perannya dalam skema suap di Mozambik.
"Dalih melindungi privasi finansial hanyalah daun ara yang menutupi peran memalukan bank Swiss sebagai kolaborator penghindar pajak," kata whistleblower Credit Suisse, menurut pernyataan OCCRP.
"Situasi ini memungkinkan korupsi dan membuat negara-negara berkembang kelaparan dari pendapatan pajak yang sangat dibutuhkan."
(tfa)