Duh! Dunia Bakal Dilanda Krisis Utang, Negara Mana Korbannya?

Redaksi, CNBC Indonesia
10 February 2022 09:20
Infografis: Utang LN Nyaris Rp 6.200 T, Apa Benar RI Terancam Bangkrut?
Foto: Infografis/Utang LN Nyaris Rp 6.200 T, Apa Benar RI Terancam Bangkrut?/Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Utang yang meningkat sejak pandemi covid-19 akan menjadi masalah besar bagi sejumlah negara dalam beberapa waktu ke depan. Khususnya pada negara berkembang dan miskin.

Hal ini disampaikan oleh Joseph Eugene Stiglitz, Peraih penghargaan Nobel bidang ekonomi tahun 2001 dalam acara Mandiri Investment Forum, Rabu (9/2/2022)

"Saya khawatir utang pada banyak negara," jelasnya.

Pada 2020, Dana Moneter Internasional (IMF) mencatat utang seluruh dunia mencapai US$ 226 triliun. Dengan asumsi US$ 1 sama dengan Rp 14.343 seperti kurs tengah Bank Indonesia (BI) 17 Desember 2021, maka utang pemerintah itu mencapai Rp 3.241.518.000.000.000.000. Tiga juta triliun rupiah.

Pemerintahan di berbagai negara terpaksa berutang untuk mengongkosi tambahan biaya kesehatan dan perlindungan sosial-ekonomi.

"Saat ini utang pemerintah berkontribusi hampir 40% dari total utang, porsi terbesar sejak pertengahan 1960-an. Sejak 2007, utang pemerintah terus bertambah karena kebutuhan penanganan krisis keuangan global dan pandemi virus corona," sebut laporan IMF.

Dua tahun berlalu, pandemi yang mulai mereda, masing-masing negara akan berkutat dalam pembayaran. Ada beberapa negara yang bisa memacu perekonomian lebih cepat, namun tidak sedikit yang akan tercekik.

"Banyak negara yang mengeluarkan dana untuk membayar utang daripada untuk pendidikan kesehatan dan sosial dan jika suku bunga naik, situasi akan memburuk, dan kita akan menghadapi krisis utang," paparnya.

Hal ini harus menjadi perhatian banyak negara, khususnya anggota G20. Negara miskin khususnya harus disiapkan solusi yang meringankan sehingga beban utang tidak terlalu menyiksa rakyat di negara tersebut.

Menurut Stiglitz, solusi yang bisa diambil adalah dengan menggunakan dana yang tersedia di Dana Monter internasional (IMF), untuk disalurkan kepada negara miskin yang terlilit utang. "Hal ini bisa diajukan di G20 sebagai cara untuk atasi ketidaksetaraan pemulihan," pungkasnya.

Pasca pandemi Covid-19, Bank Dunia (World Bank) menyebut tidak sedikit negara akan mengalami masalah ancaman utang.

Managing Director Kebijakan Pembangunan dan Kemitraan Grup Bank Dunia Mari Elka Pangestu mengatakan hal ini terjadi karena tingkat suku bunga yang lebih tinggi.

"Negara-negara ini menghadapi situasi dimana kebijakan stimulus harus mulai dikurangi, tanggapan terhadap pandemi masih harus berlangsung, dan stimulus kebijakan kesehatan serta ekonomi juga masih berlangsung," kata Mari dalam kesempatan yang sama.

Mari mengatakan perlunya restrukturisasi utang, terutama di negara-negara berkembang yang berpendapatan lebih rendah.

"Bagaimana masyarakat global bisa menangani isu-isu ini, ancaman utang, baik di tingkat negara, korporasi maupun rumah tangga," tambahnya.

Risiko utang bukan satu-satunya masalah yang harus dihadapi. Resiko perubahan iklim juga termasuk di dalamnya. Mari mengatakan negara-negara maju harus bisa membantu negara-negara berkembang mengatasi tantangan akibat perubahan iklim.

"Menurut saya kita perlu menjaga agar kebijakan perdagangan dan investasi ini tetap terbuka karena kita tidak ingin adanya nasionalisasi atau nasionalisme vaksinasi yang berlebihan atau investasi yang dijaga agar tidak melewati batas satu negara," jelasnya.

"Kita tidak ingin adanya nasionalisme industri yang berlebihan. Harus terjaga untuk terbuka, demikian hal dengan kebijakan investasi," tambanya.

"Kebijakan pemulihan ini penting bagi bagaimana dunia bisa membantu negara-negara untuk bisa mendapatkan iklim investasi yang kondusif."

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui jika kenaikan utang terjadi di banyak negara selama pandemi Covid-19. Bahkan peningkatannya cukup signifikan melebih batas yang selama ini pernah terjadi.

Menurutnya, lonjakan utang selama pandemi Covid-19 tidak hanya terjadi di negara berkembang tetapi juga negara maju. Namun, dibandingkan negara-negara tersebut ia menyebutkan bahwa kondisi Indonesia masih lebih baik.

"Tetapi jika Anda membandingkan dengan banyak negara berkembang lainnya, yang mereka belum pulih ke tingkat PDB pra-pandemi, defisit fiskal mereka jauh, jauh lebih dalam daripada Indonesia," ujarnya dalam acara yang sama.

Pada tahun lalu, Indonesia bahkan berhasil memperkecil defisit dari yang diperkirakan sejak awal. Defisit terealisasi 4,65% jauh lebih kecil dibandingkan rencana awal sebesar 5,7% dalam APBN 2021. Meski belum bisa kembali ke masa sebelum pandemi namun lebih baik.

"Dengan defisit yang semakin meningkat, maka rasio utang terhadap PDB pemerintah tentu akan meningkat. Hal ini juga terjadi di banyak negara lain di dunia," jelasnya.

Ia menjelaskan, kenaikan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun lalu hanya sebesar 10,8% menjadi 41%. Lebih baik dari negara lain seperti Filipina yang kenaikannya hingga 22,1% menjadi 59,1% terhadap PDB.

Kemudian ada juga kenaikan rasio utang yang terjadi pada Thailand sebesar 17% menjadi 58%. Lalu ada India yang rasio utangnya naik 16,5% menjadi 90,6% serta Myanmar naik 13,6% menjadi 70,7% terhadap PDB nya.

Lanjutnya, kondisi Indonesia lebih baik karena kerbehasilan kebijakan yang dilakukan pemerintah serta koordinasi yang kuat dengan berbagai stakeholder. Dengan demikian maka konsolidasi fiskal bisa dilakukan sesuai dengan amant UU.

"Saya pikir kita dapat menilai bahwa Indonesia melakukannya dengan relatif baik, dalam menggunakan instrumen kami agar kami dapat mengurangi konsekuensi pandemi Kita sekarang menyaksikan proses pemulihan, yang sangat disambut baik," kata dia.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular