Duh! PBB: Program Rudal Kim Jong Un Didanai Kripto Curian
Jakarta, CNBC Indonesia - Laporan PBB menemukan program rudal Korea Utara (Korut) didanai oleh cryptocurrency (mata uang kripto) curian senilai jutaan dolar AS. Temuan itu dilaporkan diserahkan kepada komite sanksi PBB, Jumat (4/2/2022) lalu.
Melansir BBC International, temuan para penyelidik PBB memaparkan antara tahun 2020 dan pertengahan 2021, para penyerang siber dari Korut mencuri lebih dari US$ 50 juta atau sekitar Rp 720 miliar aset digital.
Serangan itu merupakan "sumber pendapatan penting" untuk program rudal nuklir dan balistik Pyongyang. Serangan siber menargetkan setidaknya tiga pertukaran mata uang kripto di Amerika Utara, Eropa, dan Asia.
Laporan tersebut juga merujuk pada sebuah penelitian yang diterbitkan Januari lalu oleh perusahaan keamanan Chainalysis yang menyatakan serangan siber Korut dapat menjaring aset digital senilai US$ 400 juta (Rp 5,7 triliun) tahun 2021 lalu.
Sementara pada tahun 2019, PBB melaporkan Korut telah mengumpulkan sekitar US$ 2 miliar (Rp 28,8 triliun) untuk program senjata pemusnah massalnya dengan menggunakan serangan siber yang canggih.
Diketahui Korut telah dilarang oleh Dewan Keamanan PBB untuk melakukan uji coba nuklir dan meluncurkan rudal balistik. Namun laporan PBB mengatakan bahwa meskipun sanksi melumpuhkan, Pyongyang terus mengembangkan infrastruktur nuklir dan rudal balistiknya.
Negara yang dipimpin Kim Jong Un juga terus mencari materi, teknologi, dan pengetahuan di luar negeri, termasuk melalui sarana siber dan penelitian ilmiah bersama.
Pemantau sanksi mengatakan terjadi "percepatan yang nyata" dari pengujian rudal oleh Pyongyang. Amerika Serikat (AS) mengatakan bahwa negara dengan nama resmi Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK) itu melakukan sembilan uji coba rudal per Januari.
"DPRK menunjukkan peningkatan kemampuan untuk penyebaran cepat, mobilitas luas (termasuk di laut), dan peningkatan ketahanan pasukan misilnya," kata pemantau sanksi.
Laporan PBB juga menemukan bahwa situasi kemanusiaan di Korut terus memburuk. Dikatakan ini kemungkinan merupakan hasil dari keputusan negara itu untuk menutup perbatasannya selama pandemi.
Kurangnya informasi dari Korut juga membuat sulit untuk menentukan berapa banyak penderitaan masyarakat yang disebabkan oleh sanksi internasional.'
(tfa/tfa)