Eropa Lembek ke Rusia, Putin Terlalu Kuat?

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
28 January 2022 17:05
FILE PHOTO: Russian President Vladimir Putin attends a meeting with his Iranian counterpart Ebrahim Raisi in Moscow, Russia January 19, 2022. Sputnik/Pavel Bednyakov/Pool via REUTERS ATTENTION EDITORS - THIS IMAGE WAS PROVIDED BY A THIRD PARTY./File Photo
Foto: Presiden Rusia, Vladimir Putin (Sputnik/Pavel Bednyakov/Pool via REUTERS)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rusia diancam akan diberikan hukuman oleh Eropa atas konflik dengan Ukraina yang saat ini membuat dunia gaduh. Bahkan Amerika Serikat (AS) dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) pun turut ikut dalam pusaran masalah kedua negara tersebut.

Rusia masih menempatkan lebih dari 100.000 pasukan di perbatasan Ukraina. Hal ini membuat negara-negara barat protes keras, karena menilai Rusia sedang bersiap untuk melakukan invasi di wilayah eks Uni Soviet tersebut. AS pun balas menggertak dengan menyiagakan 8.500 personel angkatan bersenjata untuk diterjunkan ke Eropa sewaktu-waktu.

Hukuman dari Eropa dan sekutu barat pun mengancam Moskow jika Rusia melancarkan serangannya. Sangsi tegas yang mungkin akan diambil adalah kontrol ekspor, pembatasan teknologi dan memotong Rusia dari sistem keuangan dunia.

Presiden AS pun tampak geram dan mengancam Presiden Rusia Vladimir Putin. Ia mengaku akan "membombardir" pribadi Putin dengan sanksi.

Ia mengatakan bakal ada konsekuensi besar dari tindakan yang dilakukan pemimpin Rusia itu. Bahkan, tegasnya, mengubah dunia.

Namun menghukum Rusia bukanlah perkara Rusia melihat pengaruhnya yang besar untuk Eropa. Uni Eropa (UE) sebelumnya pernah menghukum Rusia karena invasi ilegal Krimea pada 2014 lalu.

Sanksi tersebut berhasil memberikan efek pelemahan ekonomi Rusia. Tapi serangan balasan dari Rusia termasuk larangan impor makanan total sukses melemahkan beberapa negara UE.

Hal ini yang kemudian dipertimbangkan oleh UE terutama soal ketahanan energi. UE galau karena peran Rusia terhadap pasokan gas Eropa besar.

Gas alam Eropa bergantung 35% dari Rusia. Distribusinya sebagian besar melalui pipa yang melintas dari Belarus dan Polandia ke Jerman, Nord Stream 1 langsung ke Jerman, dan lainnya melalui Ukraina.

Analis komoditas SEB Bjarne Schieldrop mengatakan pasar akan melihat ekspor gas alam dari Rusia ke Eropa Barat kemungkinan berkurang secara signifikan baik melalui Ukraina dan Belarus karena sanksi. Bjarne mengungkapkan harga gas bisa kembali tinggi seperti saat kuartal IV-2021 lalu.

Saat ini Eropa masih menghadapi tekanan dari krisis energi akibat pasokan yang langka sehingga menyebabkan harga gas masih tinggi. Dampaknya biaya-biaya jadi mahal baik untuk rumah tangga maupun industri.

Harga Gas EropaSumber: Refinitiv

Inflasi Eropa pun meningkat menjadi 5% pada bulan Desember 2021 dari yang biasanya stabil di rentang 2-2,5%. Apalagi saat ini Eropa masih mengalami musim dingin. Energi seperti gas jadi krusial di Benua Biru. Permintaan untuk penghangat akan melonjak sehingga jika pasokan gas dari Rusia terpotong, maka jadilah Eropa benar-benar menjadi biru karena membeku.

Asal tahu saja, pertengkaran kecil antara Rusia-Ukraina pada musim dingin 2008-2009 menghentikan aliran gas dan membuat sebagian Eropa kedinginan.

Tak hanya persoalan energi, sanksi terhadap Rusia juga bisa berdampak kepada guncangan keuangan di Eropa. Terutama hukuman untuk menonaktifkan Rusia dari sistem pembayaran internasional.

Bank Sentral Eropa (ECB) memberi peringatan bagi pemberi pinjaman dengan eksposur signifikan ke Rusia untuk mempersiapkan diri mereka jika Rusia terkena sanksi. ECB menilai sanksi akan meningkatkan risiko yang cukup besar bagi bank-bank internasional dengan eksposur Rusia yang besar termasuk Citi di AS, Société Générale Prancis, Raiffeisen Austria, dan UniCredit Italia.

Bank-bank internasional memiliki sekitar US$ 121 miliar aset yang terutang oleh entitas yang berbasis di Rusia. Selain itu, ada US$ 128 miliar dalam bentuk pinjaman dan dana simpanan dari entitas Rusia ke bank asing, menurut Bank for International Settlements.

Risiko tambahan bagi bank-bank Eropa adalah bahwa konflik di Ukraina dapat memukul nilai mata uang rubel, mengurangi valuasi yang dimiliki anak perusahaan mereka di Rusia.

Persoalan Rusia dan Ukraina kompleks. Sejak perang dingin berakhir, NATO yang merupakan aliansi militer barat telah memperluas wilayahnya ke timur dan berhasil mencaplok tiga negara pecahan Uni Soviet. Rusia melihat hal ini sebagai ancaman keamanan.

Ukraina sendiri merupakan pecahan Uni Soviet yang mulai dekat dengan NATO, bahkan memiliki janji untuk bergabung sejak tahun 2008. Setelah menggulingkan presiden pro-Rusia pada tahun 2014, negara itu menjadi lebih dekat secara politis dengan Barat seperti mengadakan latihan militer bersama dengan NATO dan menerima pengiriman senjata termasuk rudal anti-tank Javelin AS dan pesawat tak berawak Turki.

Putin khawatir Ukraina akan dijadikan landasan peluncuran rudal NATO yang ditargetkan ke Rusia gara-gara hubungan yang makin mesra antara Ukraina dengan aliansi tersebut. Selain itu, Putin memiliki ambisi untuk tetap menancapkan pengaruh Moskow ke bekas negara-negara Uni Soviet.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ras/ras)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Hubungan Rusia-Ukraina Memanas, Putin Diawasi Ketat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular