Kemarahan Jokowi dan Kesiapan Hilirisasi Tambang Dalam Negeri
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) bolak-balik menekankan kemarahannya di dunia pertambangan, khususnya terkait dengan ekspor mineral mentah. Jokowi menyampaikan bahwa Indonesia sudah ratusan tahun melakukan ekspor barang mentah tersebut.
Bagi Jokowi, kegiatan ekspor mineral mentah yang terjadi selama ini sangat menguntungkan negara lain. Pasalnya, negara tersebut dapat mengolah bahan mentah dan membuka lapangan pekerjaan untuk banyak orang. Sementara untuk Indonesia keuntungannya hanya seuprit.
Maka dari itu, untuk mendapatkan keuntungan sendiri, pemerintah tegas akan melarang kegiatan ekspor mineral mentah baik dari yang saat ini nikel, bauksit di tahun 2022 ini dan tembaga pada tahun 2023, serta timah pada tahun 2024.
Jokowi juga tegas meminta agar kegiatan ekspor mineral bisa dilakukan dengan produk jadi yang memiliki nilai tambah dengan mengembangkan hilirisasi pengolahan dan pemurnian mineral.
Lalu seperti apa gambaran kesiapan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) di dalam negeri untuk mendukung kesiapan pelarangan ekspor tersebut.
Sejatinya pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menargetkan bisa membangun sebanyak 53 smelter sampai pada tahun 2024. Hal itu untuk mendukung kegiatan pelarangan ekspor baik nikel, tembaga, hingga bauksit dan timah.
Sayangnya dari rencana 53 smelter itu, dalam catatan Kementerian ESDM sampai pada tahun 2021 kemarin baru terbangun sekitar 21 smelter. Adapun di tahun ini Kementerian ESDM menargetkan akan menambah 7 smelter baru. Artinya di tahun 2022 ini penyelesaian smelter baru mencapai 28 dan masih jauh dari target 53 smelter.
Adapun ketujuh smelter yang akan dibangun tahun ini diantaranya adalah: Pertama, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) di Maluku Utara, sebagai lanjutan dari target tahun lalu yang meleset. Kedua, PT Smelter Nikel Indonesia di Batnten, lanjutan dari tahun 2021. Ketiga, PT Kapuas Prima Citra di Kalimantan Tengah sebagai lanjutan tahun 2021.
Keempat, PT Kobar Lamandau Mineral di Kalimantan Tengah. Kelima, PT Well Harvest Winning AR (Fase II) di Kalimantan Barat. Keenam, PT Alchemist Metal Indsutry di Maluku Utara. Ketujuh, PT Sebuku Iron Lateritic Ores di Kalimantan Selatan.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli menilai, meskipun masih jauh dari yang ditargetkan, rencana 53 smelter yang akan dibangun hingga tahun 2024 itu harus diselesaikan demi mendukung penyerapan mineral mentah di dalam negeri yang lebih optimal.
"Kalau saya lihat targetnya harus dikejar. Namun pemerintah juga harus melihat kendala penyelesaian di lapangan seperti apa supaya bisa membantu menyelesaikan permasalahan tersbut," terang Rizal Kasli kepada CNBC Indonesia.
Untuk mengejar target itu, pemerintah juga diminta untuk membantu permasalahan yang sifatnya administrasi. Bahkan, pemerintah diminta untuk menyiapkan relaksasi apabila kegiatan pembangunan smelter tersebut mengalami kendala hingga kemunduran. Adapun relaksasinya adalah mempertimbangkan supaya kegiatan ekspor para pertambangan bisa berjalan, sebagai upaya menambah pendanaan dalam pengembangan smelter tersebut.
"Karena memang investasi smelter ini biayanya sangat besar jadi membutuhkan relaksasi pendanaan. Tapi kita kembalikan kepada pemerintah karena pemerintah yang lebih tau di lapangan, atau evaluasi dari perkembangan perkembangan smelter tersebut," tandas dia.
Namun yang terpenting, relaksasi ekspor dalam pembangunan smelter, harus dibuktikan kepada pengembang smelter dalam membangun proyeknya. "relaksasi bisa diberikan dilihat dari sejauh mana pembangunan smelter tersebut yang sudah dilakukan, apakah benar-benar dilakukan apa memang sama sekali tidak merealisasikan komitmen pembangunan smelter tersebut," tandas Rizal.
(pgr/pgr)