
Ada Pengganti, Kapan RI Terbebas dari Kecanduan Impor LPG?

Jakarta, CNBC Indonesia - Impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) RI bisa dikatakan semakin parah, terutama dalam enam tahun terakhir ini.
Berdasarkan data Content Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2020, impor LPG pada 2015 mencapai 4,24 juta ton atau sekitar 66% dari total kebutuhan LPG nasional sebesar 6,38 juta ton.
Jumlah impor ini terus meningkat hingga pada akhir 2020 tercatat mencapai 6,4 juta ton atau sekitar 80% dari total kebutuhan 8,02 juta ton.
Semakin besarnya impor LPG RI ini tak ayal membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) geram dan meminta "para pembantunya" untuk terus berupaya mengurangi impor LPG dengan mencari alternatif bahan bakar pengganti lainnya.
Adapun salah satu produk yang diminta Presiden untuk bisa menggantikan LPG yaitu Dimethyl Ether (DME), yakni hasil gasifikasi batu bara. Presiden Jokowi mengaku sudah meminta proyek gasifikasi batu bara ini segera dibangun sejak enam tahun lalu. Akhirnya, permintaan ini mulai mendekati nyata dengan dimulainya proses pembangunan alias groundbreaking proyek DME, kemarin, Senin (24/01/2022).
Presiden Jokowi ikut meresmikan proses pembangunan atau groundbreaking proyek DME di Kawasan Industri Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Senin (24/01/2022).
Proyek DME di Tanjung Enim ini ditujukan untuk mengurangi impor LPG sebesar 1 juta ton per tahun dan ditargetkan bisa tuntas dalam waktu 30 bulan ke depan atau sekitar pertengahan 2024.
Seperti diketahui, proyek DME yang diresmikan groundbreaking-nya ini merupakan proyek senilai Rp 33 triliun yang dikerjakan bersama antara PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Pertamina (Persero) dan Air Products & Chemicals Inc (APCI), perusahaan petrokimia asal Amerika Serikat. Adapun investasi untuk pembangunan proyek ini sepenuhnya dilakukan oleh Air Products, sementara PTBA akan berperan memasok batu bara, dan Pertamina sebagai pembeli produk DME nantinya.
Proyek DME di Tanjung Enim ini rencananya beroperasi selama 20 tahun. Dengan utilisasi 6 juta ton batu bara per tahun, proyek ini dapat menghasilkan 1,4 juta DME per tahun untuk mengurangi impor LPG 1 juta ton per tahun, sehingga dapat memperbaiki neraca perdagangan.
Dengan hanya mengurangi impor LPG sebesar 1 juta ton per tahun tentunya proyek ini belum cukup untuk menghentikan impor LPG RI. Apalagi, kebutuhan LPG masyarakat diperkirakan akan semakin meningkat ke depannya.
Lantas, kapan RI bisa setop impor LPG?
Berdasarkan skenario Grand Strategi Energi Nasional, RI ditargetkan bisa bebas dari kecanduan impor LPG pada 2030 mendatang. Namun, target bebas impor LPG ini disebutkan tidak hanya cukup dari produk gasifikasi batu bara seperti DME dan methanol.
Pasalnya, pasokan DME diperkirakan hanya tersedia sekitar 3 juta ton setara LPG pada 2030 mendatang. Sementara kebutuhan LPG pada 2030 diperkirakan mencapai 9,7 juta ton. Artinya, alternatif pengganti kebutuhan LPG lainnya harus turut digencarkan.
Di dalam Grand Strategi Energi Nasional, produksi LPG dari kilang yang ada saat ini di dalam negeri pada 2030 diperkirakan turun menjadi 1,2 juta ton dari 1,8 juta ton pada 2020. Sebagai alternatif bahan bakar lainnya, pemerintah akan menggencarkan jaringan gas bumi pipa (jargas) setara 1,1 juta ton LPG pada 2030, naik dari 0,1 juta ton setara LPG pada 2020.
Selain itu, kompor listrik juga digalakkan menjadi setara 2,1 juta ton LPG, rich gas 0,5 juta ton setara LPG, dan tambahan LPG dari proyek kilang minyak ekspansi sebesar 1,8 juta ton.
Pada 2025, RI diperkirakan masih impor LPG sekitar 1 juta ton, dengan asumsi sejumlah pasokan dari alternatif bahan bakar pengganti itu sudah masuk, termasuk pasokan DME bisa mencapai 3,5 juta ton setara LPG.
Adapun kebutuhan LPG pada 2025 diperkirakan mencapai 8,8 juta ton, naik dari 8 juta ton pada 2020. Pada 2030, kebutuhan LPG diperkirakan naik lagi menjadi 9,7 juta ton.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tenang Bun, Meski Gas LPG Diganti DME Masih Ada Subsidi Kok
