
Harga Pengganti LPG Bisa Setengah LPG Bund, Ini Perkiraannya

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah kian serius untuk mengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG) dengan alternatif bahan bakar lainnya guna menekan impor LPG yang terus melonjak. Salah satu yang digadang untuk menggantikan LPG yaitu Dimethyl Ether (DME), hasil gasifikasi batu bara.
Proyek pengganti LPG alias DME ini telah mulai dibangun per kemarin, Senin (24/01/2022). Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendirilah yang meresmikan proses pembangunan alias groundbreaking proyek DME di Kawasan Industri Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Senin (24/01/2022).
Presiden Jokowi meyakinkan warga bahwa api dari DME ini serupa dengan api yang dihasilkan dari LPG. Jadi, warga dinilai tidak perlu khawatir terkait produk pengganti LPG ini nantinya.
"Hampir mirip dengan LPG saya lihat, bagaimana api dari DME kalau dibandingkan dengan LPG sama saja," ujarnya saat memberikan sambutan dalam acara groundbreaking di Tanjung Enim, Senin (24/01/2022).
Proyek DME ini pun ditargetkan tuntas dalam waktu 30 bulan mendatang. Bila dimulai Januari 2022 ini, maka artinya proyek DME ini sudah bisa beroperasi dan mulai disalurkan ke masyarakat paling cepat sekitar pertengahan 2024.
Lantas, berapakah harganya? Apa iya bisa lebih murah daripada harga LPG?
Berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), terkait kesepakatan struktur harga DME dari hasil pertemuan tiga menteri, yakni Menteri BUMN, Menteri ESDM, dan Menteri Investasi, diusulkan harga DME ex-factory sebesar US$ 378 per ton, porsinya menjadi kesepakatan antara PTBA dan Air Products.
"Harga DME bersifat fixed-price, tidak ada eskalasi harga batu bara dan Process Service Fee (PSF)," tulis bahan pemaparan Dirjen Minerba, Kamis (20/01/2022).
Sebagai perbandingan, harga LPG merujuk pada Contract Price Aramco (CP Aramco). Saudi Aramco, raksasa minyak asal Arab Saudi, menetapkan harga propana dan butana yang merupakan komponen LPG pada Januari 2022 ini masing-masing sebesar US$ 740 per metrik ton dan US$ 710 per metrik ton, mengutip S&P Global.
Bahkan, pada November 2021 CP Aramco sempat mencapai US$ 847 per metrik ton, harga tertinggi sejak tahun 2014 atau naik 57% sejak Januari 2021.
Seperti diketahui, untuk harga LPG non subsidi pada akhir Desember 2021 lalu telah naik menjadi Rp 11.500 per kilo gram (kg), naik sekitar Rp 1.600-Rp 2.600 per kg dari harga sebelumnya. Di pasaran retail atau tingkat konsumen, harga LPG non subsidi seperti tabung 12 kg berwarna biru bahkan telah naik menjadi sekitar Rp 175 ribu-Rp 177 ribu per tabung.
Kenaikan harga LPG non subsidi ini dipicu dari kenaikan CP Aramco, terutama pada November 2021 tersebut.
Dengan demikian, bila harga DME benar akan ditetapkan sebesar US$ 378 per ton, maka artinya ini bisa lebih murah dari harga LPG, bahkan bisa separuh harga lebih murah daripada harga LPG, dari sisi biaya bahan baku.
Pjs. Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting sempat mengatakan, bila memang harga DME diusulkan sebesar itu, maka artinya selisih harganya memang setengah dari harga LPG. Bila ini terjadi, menurutnya ini akan menjadi harga yang menarik.
Namun menurutnya, untuk kepastian harga masih belum ditentukan dan masih dibahas pemerintah.
"Kalau selisihnya (harga DME dan CP Aramco) sampai setengahnya tentu akan menarik, kalau dibandingkan dengan CP Aramco bulan ini. Namun CPA ini fluktuatif," tuturnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (25/01/2022).
Dia mengatakan, harga pengganti LPG ini nantinya akan ditentukan pemerintah. Pertamina dalam hal ini bertindak sebagai pembeli (offtaker) dari produk DME.
"Harga (DME) ditentukan pemerintah. Pertamina sebagai offtaker-nya," ucapnya.
Seperti diketahui, proyek DME yang diresmikan groundbreaking-nya ini merupakan proyek senilai Rp 33 triliun yang dikerjakan bersama antara PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Pertamina (Persero) dan Air Products & Chemicals Inc (APCI), perusahaan petrokimia asal Amerika Serikat.
Adapun investasi untuk pembangunan proyek ini sepenuhnya dilakukan oleh Air Products, sementara PTBA akan berperan memasok batu bara, dan Pertamina sebagai pembeli produk DME nantinya.
Proyek DME di Tanjung Enim ini rencananya beroperasi selama 20 tahun. Dengan utilisasi 6 juta ton batu bara per tahun, proyek ini dapat menghasilkan 1,4 juta DME per tahun untuk mengurangi impor LPG 1 juta ton per tahun, sehingga dapat memperbaiki neraca perdagangan.
Perlu diketahui, impor LPG Indonesia mencapai sekitar 6-7 juta ton per tahun.
Berdasarkan data Content Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2020, impor LPG RI dari tahun ke tahunnya telah meningkat signifikan sejak 2010.
Bila pada 2010 impor LPG RI masih berada di kisaran 1,6 juta ton, namun hingga 2020 lalu impor LPG telah melesat 300% menjadi 6,4 juta ton.
Proyek DME ini pun digalakkan guna mengurangi impor LPG.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Pengganti LPG Bisa Lebih Murah dari LPG, Cek Nih Bund!
