CNBC Insight

Sukarno Sampai Jokowi: Pagaralam dari Dulu Simpan Harta Karun

Petrik M, CNBC Indonesia
25 January 2022 18:20
Cover Insight, Jokowi
Foto: Cover Insight/ Jokowi/ Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada Senin (24/1/2022) Presiden Jokowi berkunjung ke Kota Pagar Alam, Sumatra Selatan. Jokowi berasa mengulangi apa yang pernah dilakukan Presiden Pertama RI Sukarno. Pagaralam disiapkan sebagai wilayah atau kota 'kaya' energi hijau.

"Sore hari ini saya betul-betul merasa berbahagia sekali karena bisa hadir di Kota Pagar Alam, di mana 70 tahun yang lalu Bung Karno pernah ke sini yaitu di tahun 1952 dan di titik yang sama di sini. Alhamdulillah," kata Jokowi.

Sejak dulu Pagaralam bukan daerah tak penting di Sumatra Selatan sejak dulu. Sejak zaman Hindia Belanda Pagaralam adalah daerah perkebunan penting di Sumatra, yang ikut memberi pemasukan kepada Kerajaan Belanda.

"Perusahaan perkebunan teh dan kopi umumnya juga mundur bahkan ada yang menghentikan kegiatannya. Perusahaan perkebunan teh di Gunung Dempo dan di Tanjung Keling. Perusahaan perkebunan kopi di Padang Karet dan di Kebun Pagar Alam," tulis Ma'moen Abdullah dalam Sejarah daerah Sumatera Selatan (1991:159).

Jalur di Sumatra Selatan era Jokowi tentu berbeda dengan di zaman Bung Karno dulu. Di masa lalu untuk mencapai Pagaralam dari ibukota Sumatra Selatan, Palembang, melalui jalur darat, mobil harus melalui beberapa kaya akan hasil perkebunan karet, batubara dan minyak bumi.

Sumatra Selatan, di masa revolusi menjadi sangat penting bagi pihak NICA Belanda, karena kekayaan alamnya. Demi menduduki daerah ini, militer Belanda mengerahkan pasukan militer yang cukup ganas, seperti Batalyon Gadjah Merah (yang dibentuk di Thailand) dan Batalyon Pemukul (Stoottroepen) dari Belanda. Gadjah Merah pernah melawan pasukan I Gusti Ngurah Rai di Bali.

Mula-mula, militer Belanda berjuang keras melawan melawan Tentara Republik Indonesia dalam Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang dari 1 Januari hingga 5 Januari 1947. Dengan susah payah secara militer dan diplomasi, tentara Republik akhirnya diperintahkan mundur sampai ke luar kota Palembang.

Setelah menduduki Palembang, di kota Palembang pihak NICA Belanda mengadakan konsolidasi dengan pemuka lokal untuk mendirikan Negara Sumatra Selatan, untuk melemahkan posisi Republik Indonesia di Palembang. Beberapa bulan setelah Pertempuran Lima Hari Lima Malam, militer Belanda beraksi lagi.

Pada 21 Juli 1947, dalam rangka Agresi Militer Belanda I, dari Palembang militer Belanda disebar menyerang beberapa daerah di Sumatra Selatan. Koran Trouw (22/07/1948) menyebut Batalyon Stoottroepen maju menyerang kekuatan Republik di Baturaja dan kemudian bergerak ke Lahat.

Koran Overijsselsch Dagblad (31/07/1947) menyebut tentara Belanda menduduki beberapa daerah di Sumatra Selatan, setelahnya ladang minyak dan batu bara di Muara Enim dibuka lagi oleh Belanda. Begitu juga perkebunan karet di daerah selatan Palembang.

Koran Het Parool (28/08/1947) memberitakan bahwa pekerja perusahaan minyak Standard Oil dari Amerika menganggap Batalyon Gadjah Merah berjasa dalam pembukaan industri minyak Palembang. Standard Oil adalah milik keluarga Rockefeller.

Agresi Militer I dikenal sebagai Operatie Product, yang tujuannya menduduki daerah-daerah dengan nilai ekonomis tinggi bagi Belanda. Jauh setelah perang Indonesia vs Belanda di Sumatra Selatan, provinsi ini termasuk Pagaralam masih menjadi daerah berpotensi ekonomi.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pmt/pmt)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Prabowo: Ada yang Mau Pisahkan Saya dan Jokowi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular