
Kontroversi PM Inggris: Pesta Hingga Kendurkan Aturan Covid

Jakarta, CNBC Indonesia - Kontroversi seolah tidak pernah berhenti menyertai kiprah Perdana Menteri Inggris Boris Johnson. Masih teringat jelas pada Mei 2020 lalu, Johnson terlibat dalam sebuah skandal pesta dan pertemuan yang dihadiri sebanyak 100 orang di kantornya yang berlokasi di Downing Street. Padahal, saat itu Inggris masih memberlakukan periode penguncian dan pembatasan Covid-19.
Di sana, ia kedapatan minum anggur dan makan keju bersama istri dan beberapa stafnya. Hal itu jelas kontradiktif dengan kebijakan untuk warga yang harus bertemu satu orang saja dari luar rumah. Mereka pun harus bertemu di luar ruangan dengan sejumlah aturan ketat lain.
Seakan ingin mengembalikan kepercayaan publik, pada Rabu (18/1/2022) lalu, Johnson akan melonggarkan segala aturan mengenai Covid-19, mulai dari masker yang tidak lagi wajib untuk dikenakan di tempat umum, hingga tiket Covid-19 yang tidak akan lagi diwajibkan untuk acara-acara besar.
Selain itu, Johnson juga mengatakan kepada anggota parlemen, pemerintah sedang memproses pelonggaran aktivitas. Pemerintah tidak lagi memperketat aturan masyarakatnya untuk bekerja dari rumah.
"Kami akan mempercayai penilaian rakyat Inggris dan tidak lagi mengkriminalisasi siapa pun yang memilih untuk tidak menggunakannya," ujar Johnson dilansir dari AP, Kamis (20/1/2022).
Johnson berdalih bahwa kebijakan ini berdasar dari tingkat vaksinasi booster untuk orang berusia di atas 60 tahun sudah mencapai 90%. Angka infeksi di Negeri Big Ben tersebut juga telah menurun drastis.
Johnson menambahkan, persyaratan bagi mereka yang terinfeksi untuk isolasi diri selama lima hari tetap ada. Namun kebijakan itu juga akan secepatnya dihilangkan dalam beberapa minggu mendatang.
Johnson mengatakan, sementara ini aturan isolasi diri akan berakhir pada 24 Maret. Dia akan berusaha untuk membatalkannya lebih awal jika data Covid-19 terus membaik.
Kabar tersebut disambut baik oleh kalangan bisnis, terutama yang mengandalkan pekerja yang kembali mengisi pusat kota, serta perhotelan dan pariwisata.
Meski disambut baik, Inggris tercatat memiliki jumlah kematian pandemi terburuk kedua di Eropa setelah Rusia, dengan lebih dari 153.000 kematian terkait virus yang dikonfirmasi. Hal itu jelas menuai perdebatan apakah kebijakan dari Johnson ini tepat adanya.
Beberapa masyarakat Inggris juga mengatakan pemerintah perlu memberikan perincian lebih lanjut tentang rencana mereka untuk mengatasi pandemi dalam jangka panjang.
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Nah Lo! PM Inggris Boris Johnson Didesak Mundur, Ada Apa?