DMO Batu Bara Dilepas Harga Pasar, Negara Memihak Taipan?

Wilda Asmarini, CNBC Indonesia
Selasa, 18/01/2022 13:40 WIB
Foto: Aktivitas Bongkar Muat Batu Bara di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (22/11/2021). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah berencana untuk melepas harga batu bara untuk kepentingan dalam negeri (Domestic Market Obligation/ DMO), khususnya untuk pembangkit listrik, menjadi mengikuti harga pasar dari ketentuan saat ini yang dipatok maksimal sebesar US$ 70 per ton.

Meski nantinya pemerintah berjanji akan menutupi selisih biaya harga pasar dan harga patokan maksimal US$ 70 per ton tersebut dari skema pungutan batu bara melalui Badan Layanan Umum (BLU), namun ini artinya PT PLN (Persero) tetap harus mengeluarkan biaya yang lebih tinggi terlebih dahulu sambil nantinya digantikan oleh BLU tersebut.

Usulan skema baru ini mendapatkan penolakan dari sejumlah pihak, baik Komisi VII DPR RI dan juga pengamat energi.


Menurut Tumiran, mantan Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) yang juga merupakan pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, pengusaha batu bara tidak akan sepenuhnya setuju dengan rencana ini. Kalau pun mengaku setuju di awal, namun saat dijalankan di kemudian hari bisa saja pengusaha kembali mengumbar alasan keberatan lainnya.

"Kalau ada pemikiran PLN harus membeli sesuai harga pasar, nanti akan runyam lagi, dari mana diambil defisit tersebut? Apa iya pengusaha akan rela menutup defisit tadi dari pendapatan kenaikan ekspornya? Saya kok tidak yakin. Kalau diambilkan dari pendapatan pengusaha dengan keuntungan ekspor untuk menutup selisih yang US$ 70 (per ton) tanpa mengurangi hak negara, ngapain repot-repot menaikkan harga batu bara di dalam negeri? Mungkin akan terjadi banyak excuse lagi ke depannya," paparnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (18/01/2022).

Menurutnya, para pengusaha batu bara seharusnya menyadari bahwa harga batu bara di dalam negeri tidak tinggi seperti harga ekspor atau pasar internasional karena pada dasarnya batu bara adalah milik seluruh rakyat Indonesia yang amanatnya dititipkan kepada negara untuk mengelolanya, kemudian negara memberikan izin kepada produsen batu bara untuk menambangnya, bukan memiliki.

"Harusnya para pengusaha itu patuh pada ketentuan yang memberikan kuasa. Kalau harga di luar naik, bukan berarti di dalam negeri akan naik, tetapi syukurilah kenaikan di luar negeri menjadi rezeki untuk pengusaha dan pemerintah. Bila batu bara di dalam negeri mengalami kenaikan, di sektor kelistrikan pasti akan menaikkan biaya produksi listrik," jelasnya.

Dia menjelaskan, kenaikan harga batu bara untuk pembangkit listrik dalam negeri akan berdampak pada peningkatan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik karena energi batu bara masih mendominasi sumber energi pembangkit listrik nasional, yakni lebih dari 53%.

"Ke mana defisit pengeluaran PLN tersebut? tentu dua opsi yaitu kenaikan tarif atau mekanisme subsidi. Kalau kenaikan tarif jelas tidak memenuhi asas keadilan, karena pendapatan pengusaha harus disubsidi oleh konsumen listrik (rakyat Indonesia) yang merupakan pemilik batu bara tersebut yang dititipkan kepada pemerintah dan dijalankan oleh pengelola negara," paparnya.

Bila mekanisme subsidi dari pengembalian pendapatan negara karena kenaikan harga batu bara di dalam negeri, pemerintah akan defisit. Sebagai contoh, bila kenaikan harga batu bara di dalam negeri mencapai US$ 170 per ton, berdasarkan perencanaan PLN tahun 2021 yang lalu, PLN akan mengeluarkan biaya tambahan sebesar sekitar Rp 105 triliun.

Dari pengeluaran tersebut, pemerintah diperkirakan akan mendapatkan tambahan pemasukan Rp 50 triliun baik dari royalti, Pajak Penghasilan (PPh), maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sementara pengusaha akan mendapatkan tambahan sekitar Rp 55 triliun.

"Nah pertanyaannya defisit PLN yang Rp 55 triliun harus diambilkan dari mana? Haruskan dari kenaikan tarif? bila ini dilakukan jelas tidak memenuhi asas keadilan. Diambilkan dari APBN, jelas juga tidak adil. Oleh karena itu, pandangan saya, regulasi saat ini dengan caping (batasan) US$ 70 per ton sudah baik," paparnya.

"Pemerintah harus lebih confident lah mengelola batu bara sebagai sumber daya energi nasional untuk menjadi driver pembangunan, memenuhi sektor kelistrikan agar bisa tetap kompetitif untuk sektor industri dan bisnis nasional," pungkasnya.


(wia)
Saksikan video di bawah ini:

Video: DPR Bicara Nasib Pembangkit Nuklir - Prospek Danantara di EBT