Pemasok Batu Bara Justru Tolak Rencana Skema BLU

Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) menyatakan ketidaksetujuannya atas rencana pemerintah melepas harga batu bara ke harga pasar. lebih baik, harga batu bara dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) yang saat ini dipatok US$ 70 per ton diperbaiki.
"Pandangan kami, tata kelola yang sudah ada ini diperbaiki saja jangan merubah tata kelola yang ada, kita dari Aspebindo dari September (2021) sudah menyampaikan terbuka, dengan situasi seperti sekarang ini PLN akan kekurangan pasokan dan sebenarnya kurang setuju dengan mekanisme BLU ini," terang Ketua Umum Aspebindo Anggawira kepada CNBC Indonesia dalam Closing Bell, Jumat (14/1/2022).
Sepeti yang diketahui saat ini pemerintah sedang menyusun adanya skema baru untuk suplai batu bara dalam negeri. Salah satu oposinya adalah menggunakan skema Badan Layanan Umum (BLU) pungutan batu bara.
Dalam skema BLU itu, kelak PT PLN (Persero) akan mengikat kontrak dengan beberapa perusahaan batu bara yang memiliki spesifikasi batubara sesuai dengan kebutuhan PLN. Nilai harga kontrak akan disesuaikan per tiga atau enam bulan sesuai dengan harga pasar yang berlaku.
Kemudian, PLN membeli batubara sesuai harga pasar saat ini US$ 62 per ton untuk kalori 4.700 Kcal. PLN akan menerima subsidi dari BLU untuk menutup selisih antara harga pasar dengan harga berdasarkan acuan US$ 70 per ton.
Lalu, selisih antara harga yang diberikan PLN dan harga market batu bara akan diberikan oleh BLU melalui iuran yang diterima dari perusahan batu bara. Besaran iuran akan disesuaikan secara periodik berdasarkan selisih antara harga pasar yang dibeli PLN dan US$ 70 per ton.
Anggawira mengatakan bahwa pihaknya tidak sepakat dengan skema BLU itu, baginya, dengan adanya DMO saat ini sudah ada caping harga yang ditentukan kepada PLN. "Kan batu bara ini bukan hanya diperlukan oleh sektor energi saja, tapi industri lain juga butuh batu bara juga. kalau harganya tinggi di dalam negeri, kita jadi tidak kompetitif. ini yang harus diperhatikan juga," ungkap Anggawira.
Adapun menurut dia, terjadinya krisis batu bara yang terjadi di PLN akibat dari kurangnya kontrol dari pemerintah. Maka dari itu, perbaikan soal DMO ini sejatinya lebih kepada pengawasan yang dievaluasi per tiga atau empat bulan.
"Dievaluasi mungkin jadi per 3 atau 4 bulan bukan hanya dikontrol tiap akhir tahun. Menurut hemat saya ini yang harus diperingatkan," tandas Anggawira.
[Gambas:Video CNBC]
Kisruh Pelarangan Ekspor, Adaro Sepakat Tambah Suplai ke PLN
(pgr/pgr)