Picu Masalah Baru, Skema BLU Batu Bara Tak Jamin Pasokan PLN

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah tengah menyiapkan skema baru untuk menangkal krisis batu bara yang dihadapi oleh PT PLN (Persero). Yang saat ini sedang dibahas adalah, solusi suplai batu bara dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) melalui skema Badan Layanan Umum (BLU) untuk pungutan batu bara.
Dalam skema BLU itu, kelak PT PLN (Persero) akan mengikat kontrak dengan beberapa perusahaan batu bara yang memiliki spesifikasi batubara sesuai dengan kebutuhan PLN. Nilai harga kontrak akan disesuaikan per tiga atau enam bulan sesuai dengan harga pasar yang berlaku.
Kemudian, PLN membeli batubara sesuai harga pasar saat ini US$ 62 per ton untuk kalori 4.700 Kcal. PLN akan menerima subsidi dari BLU untuk menutup selisih antara harga pasar dengan harga berdasarkan acuan US$ 70 per ton.
Lalu, selisih antara harga yang diberikan PLN dan harga market batu bara akan diberikan oleh BLU melalui iuran yang diterima dari perusahan batu bara. Besaran iuran akan disesuaikan secara periodik berdasarkan selisih antara harga pasar yang dibeli PLN dan US$ 70 per ton.
Pengamat Ekonomi dan Energi dari Universitas Gajah Mada (UGM), Fahmy Radhi menyampaikan menilai, bahwa skema BLU sesungguhnya tidak akan menyelesaikan masalah, namun justru akan menimbulkan masalah baru.
Karena. "Tidak ada jaminan bahwa PLN akan mendapatkan pasokan sesuai jumlah kebutuhannya meskipun PLN membeli sesuai harga pasar," terang Fahmy kepada CNBC Indonesia, Kamis (13/1/2021).
Menurut Fahmy, berdasarkan kontrak jangka panjang, pengusaha akan mendahulukan pasokan batubara kepada pembeli di luar negeri ketimbang menjual ke PLN, yang mendasarkan pada kontrak jangka pendek. Kalau benar, tidak dapat dihindari PLN akan kembali mengalami krisis batu bara, yang mengancam pemadaman sebagian besar pembangkit listrik yang menggunakan batu bara.
Ia menganalogikan, bahwa berdasarkan kebutuhan batu bara PLN sebesar 5,1 juta ton, penggantian selisih antara harga pasar dibayarkan PLN dengan harga DMO US$ 70 per metric ton, jumlahnya sangat besar. Kalau harga pasar batubara saat ini mencapai US$ 203 per metric ton, maka total penggantian dari iuran tersebut mencapai sebesar US$ 816 juta (203-70) x 5,1 juta ton = US$ 816 juta).
"Dengan dana sebesar itu tentunya ada keengganan pengusaha untuk membayar iuran BLU. Kalau iuran itu gagal dibayarkan kepada PLN karena keengganan pengusaha, harga pokok penyediaan (HPP) sudah pasti akan membengkak. Dalam kondisi tersebut, kalau tidak ingin bangkrut, PLN harus menaikan tarif listrik yang makin memberatkan rakyat," tandas Fahmy.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif menyampaikan, bahwa skema BLU pungutan batu bara itu akan dirampungkan dalam waktu dekat.
"Dalam proses pembahasan yang rinci mengenai penerapan skema BLU untuk mengatasi hal ini (krisis batu bara) itu dalam penggodokan dan mudah-mudahan dalam waktu ke depan lebih jelas lagi," jelas Arifin dalam Konferensi Pers, Rabu (12/1/2022).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu mengatakan bahwa pihaknya menyambut adanya wacana BLU untuk pungutan batu bara itu. "Ide baik kalo buatkan BLU batu bara. Ini masih dibicarakan detailnya, tapi ini akan membuat sistem menjadi baik dan menghindari ketidakpastian," ungkap Febrio, saat bincang dengan media, Rabu (12/1/2022).
Yang terang, kata Febrio, penerapan BLU untuk pungutan batu bara tidak akan berdampak terhadap keuangan negara. Justru hal ini akan membantu koordinasi antara PLN dan pengusaha batu bara.
"Membantu terjadi koordinasi baik dengan mereka, sama dengan BLU yang lain. BPDKS ini membantu usaha koordinasi dengan pemerintah untuk kebijakan menjadi lebih baik. Nah logikanya mirip itu, jadi tidak ada dampak ke APBN, aman dan sehat. Jadi ini kita pastikan suplai batu bara aman dan tidak ada dampak ke APBN," tandas dia.
[Gambas:Video CNBC]
Waduh! Skema BLU Batu Bara Korbankan PLN dan Keuangan Negara
(pgr/pgr)