Pak Jokowi, Ahli Tambang Usulkan Ini Biar Batu Bara Gak Macet

Wilda Asmarini, CNBC Indonesia
10 January 2022 16:55
Pekerja membersihkan sisa-sisa batu bara yang berada di luar kapal tongkang pada saat bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (22/11/2021). Pemerintah Indonesia berambisi untuk mengurangi besar-besaran konsumsi batu bara di dalam negeri, bahkan tak mustahil bila meninggalkannya sama sekali. Hal ini tak lain demi mencapai target netral karbon pada 2060 atau lebih cepat, seperti yang dikampanyekan banyak negara di dunia. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Aktivitas Bongkar Muat Batu Bara di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (22/11/2021). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisisnya pasokan batu bara untuk kepentingan dalam negeri, khususnya untuk pembangkit listrik PT PLN (Persero) dan pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/ IPP), telah membuat pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan ekstrem dengan melarang ekspor batu bara selama 1 Januari-31 Januari 2022 mendatang.

Kondisi ini memang tak lepas dari tidak adanya niat baik dari segelintir produsen batu bara dan tidak konsistennya segelintir pengusaha batu bara untuk menyuplai kebutuhan batu bara di dalam negeri, sesuai ketentuan pemenuhan pasokan batu bara untuk kepentingan dalam negeri (Domestic Market Obligation/ DMO).

Hal tersebut disampaikan oleh Rizal Kasli, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi).

Dia mengatakan, pemerintah setiap tahun telah menetapkan kebutuhan batu bara nasional untuk untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) PLN dan IPP. Kebutuhan tersebut lalu dibagi secara proporsional kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKB2B) sebagai kewajiban memasok hasil produksinya ke PLN dan IPP. Sisanya, hasil produksi batu bara tersebut diperbolehkan untuk diekspor.

"Yang jadi masalah, tak semua pelaku usaha memenuhi kewajiban tersebut secara baik dan konsisten," ujarnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin (10/01/2022).

Dia pun menyebut, disparitas harga yang terlalu jauh antara harga DMO dan luar negeri juga menjadi salah satu penyebabnya. Para produser batu bara lebih mengutamakan penjualan batu bara ke luar negeri ketimbang pemenuhan DMO.

Sebagai perbandingan, harga batu bara untuk gar 4.200 kcal, dengan menggunakan Index NEX US$ 180 per ton (17 Desember 2021), maka harga di pasar internasional sebesar US$ 94 per ton, sementara harga ke PLN atau IPP hanya US$ 40 per ton. Ini artinya, terdapat disparitas harga sebesar US$ 54 per ton.

"Ketidakpatuhan beberapa perusahaan batu bara demi semata-mata mendapat keuntungan besar, dengan memilih pasar luar negeri ketimbang menyuplai kebutuhan domestik, yang akhirnya berujung pada pelarangan ekspor bagi seluruh produser batu bara, termasuk yang selama ini telah patuh memenuhi DMO," tuturnya.

Oleh karena itu, pihaknya pun memberikan sejumlah usulan untuk memperbaiki kondisi kekacauan yang terjadi ini, terutama untuk jangka panjang agar kejadian ini tak terulang kembali.

Pertama, PLN dan IPP telah membuat proyeksi kebutuhan batu bara hingga jangka waktu tertentu meliputi volume dan spesifikasi serta penyebaran lokasi PLTU, untuk menyesuaikan dengan jumlah cadangan, volume produksi serta lokasi tambang batu bara.

"Perlu dibuat platform yang reliable untuk monitoring kebutuhan pasokan batu bara dan status stok batu bara di semua PLTU PLN dan IPP, sehingga dapat diantisipasi kekurangan pasokan batu bara sedini mungkin. Menghindari krisis pasokan yang berdampak besar bagi masyarakat umum," jelasnya.

Kedua, sebagai sumber daya yang tidak dapat diperbarui, cadangan batu bara di Indonesia dalam beberapa dasawarsa ke depan akan menipis dan habis. PLN dan IPP sudah harus mempunyai perencanaan substitusi dengan mengurangi ketergantungan energinya dari PLTU berbahan bakar batu bara, untuk beralih ke pembangkitan non fosil atau EBT.

Ketiga, pemerintah harus tegas dan berani untuk menindak produser batu bara yang tidak memenuhi kewajiban DMO, karena telah menyebabkan dampak sistemik dan massif bagi timbulnya isu sosial, ekonomi dan politik skala nasional.

Keempat, pemerintah perlu untuk membuat rumusan yang berkeadilan atas penetapan Harga Batu Bara Acuan (HBA) agar diperoleh keseimbangan keuntungan antara PLN dan IPP, serta produser pertambangan.

Kelima, pemerintah memperbaiki dan memperkuat jalur logistik ke PLN dan IPP, termasuk penyediaan kapal dan barge, serta peningkatan kualitas infrastruktur di pelabuhan tujuan, agar kapasitas bongkar dan management bongkar tidak terkendala. Selain itu, diperlukan pula fasilitas pencampuran (blending facility) yang memadai dengan sistem zonasi, sehingga pemerintah dapat memungut royaltinya dalam bentuk in-kind.

Keenam, keterbukaan di PLN dan IPP terkait pembelian dan aspek komersial, sehingga informasi terkait mudah diakses oleh pemasok batu bara serta publik.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ekspor Disetop, Siap-Siap Stok Batu Bara Numpuk!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular