Miris! RI Produsen Batu Bara Top 3 Dunia Tapi Domestik Krisis
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia dianugerahi sumber daya alam melimpah, salah satunya batu bara. Indonesia tercatat memiliki cadangan batu bara sebesar 34,87 miliar ton hingga akhir 2020. Jumlah ini menjadikan Indonesia sebagai pemilik cadangan batu bara terbesar ketujuh di dunia.
Tak hanya itu, Indonesia bahkan merupakan produsen batu bara terbesar ketiga dunia, setelah China dan India pada 2020 lalu.
Mengutip data dari BP Statistical Review 2021, produsen batu bara terbesar dunia yaitu China dengan jumlah produksi mencapai 3,9 miliar ton pada 2020. Kemudian disusul India dengan jumlah produksi 756,5 juta ton. Sementara Indonesia tercatat 562,5 juta ton pada 2020.
Pada 2021, produksi batu bara Indonesia bahkan lebih tinggi lagi dibandingkan 2020 lalu. Berdasarkan data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per Selasa (04/01/2022), produksi batu bara nasional pada 2021 tercatat mencapai 611,79 juta ton dengan ekspor sebesar 303,08 juta ton.
Pada 2022 ini bahkan pemerintah menargetkan peningkatan produksi batu bara menjadi sekitar 637 juta hingga 664 juta ton.
Namun sayangnya, besarnya produksi batu bara nasional ini justru tidak begitu dinikmati oleh industri dalam negeri. Bahkan, PT PLN (Persero) yang merupakan konsumen batu bara terbesar di dalam negeri harus mengalami krisis pasokan batu bara.
Padahal, kebutuhan batu bara untuk kepentingan dalam negeri, termasuk untuk pembangkit listrik masih jauh lebih rendah dari angka produksi tersebut. Pada 2021, pemerintah menargetkan penyerapan batu bara domestik "hanya" 137,5 juta ton. Jumlah ini hanya 22% dari total produksi yang ditargetkan sebesar 625 juta ton pada 2021.
Adapun perkiraan kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik pada 2021 "cuma" 113 juta ton. Kendati demikian, sayangnya pembangkit listrik tetap dipinggirkan oleh para pengusaha batu bara dengan kejadian kritisnya pasokan batu bara untuk pembangkit listrik di dalam negeri.
Kondisi krisis pasokan batu bara yang dialami PLN ini bisa dikatakan telah berkali-kali terjadi, terutama pada tahun 2021 lalu saat harga batu bara di pasar dunia terus meroket, jauh di atas batas harga jual untuk kepentingan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO), terutama untuk pembangkit listrik yang dipatok sebesar US$ 70 per ton. Harga batu bara pada awal Oktober 2021 bahkan pernah mencapai puncaknya di level US$ 280 per ton.
Pada Juli 2021 lalu stok batu bara PLN juga sempat dalam kondisi kritis di mana stok batu bara untuk pembangkit listrik PLN pada saat itu kurang dari 10 hari. Padahal, dalam kondisi normal setidaknya mencapai sekitar 15 hari.
Kondisi ini pula lah yang pada akhirnya membuat pemerintah untuk memutuskan pelarangan ekspor batu bara kepada 34 perusahaan batu bara nasional pada awal Agustus 2021 lalu.
Berdasarkan dokumen yang diterima CNBC Indonesia, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengirimkan surat keputusan perihal "Pelarangan Penjualan Batu Bara ke Luar Negeri" kepada Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, serta Direktur Jenderal Perhubungan Laut pada 7 Agustus 2021.
Dalam surat tersebut lah, Dirjen Minerba meminta kepada ketiga unsur pemangku kepentingan tersebut untuk melakukan pembekuan Eksportir Terdaftar (ET) kepada 34 perusahaan batu bara tersebut.
Hal tersebut dikarenakan 34 perusahaan tersebut tidak memenuhi kewajiban pasokan batu bara sesuai kontrak penjualan dengan PT PLN (Persero) dan atau PT PLN Batu Bara Periode 1 Januari-31 Juli 2021.
Keputusan ini sesuai dengan Keputusan Menteri ESDM No.139.K/HK.02/MEM.B/2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara Dalam Negeri yang ditetapkan Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 4 Agustus 2021.
Baru empat bulan kejadian itu terjadi, namun ternyata kondisi ini harus kembali dialami lagi pada akhir Desember 2021. Bahkan, kali ini berdampak lebih serius bagi keberlanjutan pasokan listrik untuk masyarakat.
Kurangnya pasokan batu bara untuk pembangkit listrik pada akhir Desember 2021 dan Januari 2022 ini mengancam pasokan listrik bagi 10 juta pelanggan PLN, mulai dari masyarakat umum hingga industri di Jawa, Madura, Bali (Jamali), maupun non Jamali.
Hampir 20 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan total daya sekitar 10.850 Mega Watt (MW) terancam padam bila pasokan batu bara untuk pembangkit listrik tak kunjung dipasok oleh perusahaan batu bara.
Kondisi ini lah yang pada akhirnya membuat pemerintah memutuskan untuk mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor batu bara, bukan hanya untuk segelintir penambang, melainkan untuk seluruh penambang batu bara nasional.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengambil kebijakan untuk melakukan pelarangan ekspor batu bara periode 1 hingga 31 Januari 2022 bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi, dan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dan PKP2B.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengatakan bahwa langkah ini harus diambil dan bersifat sementara guna menjaga keamanan dan stabilitas kelistrikan dan perekonomian nasional.
"Saat pasokan batubara untuk pembangkit sudah terpenuhi, maka akan kembali normal, bisa ekspor. Kita akan evaluasi setelah tanggal 5 Januari 2022 mendatang," ujarnya dikutip dari laman resmi Kementerian ESDM, Sabtu (1/1/2022).
Ridwan menambahkan, pemerintah juga beberapa kali telah mengingatkan para pengusaha batu bara untuk terus memenuhi komitmen memasok batu bara ke PLN. Namun, realisasinya pasokan batu bara setiap bulan ke PLN di bawah kewajiban persentase penjualan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO).
"Dari 5,1 juta metrik ton (MT) penugasan dari Pemerintah, hingga tanggal 1 Januari 2022 hanya dipenuhi sebesar 35 ribu MT atau kurang dari 1%. Jumlah ini tidak dapat memenuhi kebutuhan tiap PLTU yang ada," tutur Ridwan.
(wia)