Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah memiliki target ambisius untuk mencapai target netral karbon pada 2060 mendatang atau lebih cepat. Salah satu upaya yang bakal gencar dilakukan untuk mencapai target tersebut yaitu dengan memensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara dan menggencarkan pembangkit listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT).
Batu bara merupakan sasaran komoditas utama yang akan 'kiamat' terlebih dahulu karena dianggap sebagai sumber energi kotor dan penghasil emisi karbon terbesar.
Untuk mendukung rencana ini, pemerintah pun memutuskan untuk tidak lagi menyetujui pembangunan PLTU baru, kecuali sudah dalam tahap kepastian pendanaan (financial close) dan juga proses konstruksi. Hal ini telah dimasukkan ke dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL 2021-2030).
Sebagai penggantinya, di dalam RUPTL 2021-2030 ini ditentukan bahwa tambahan porsi pembangkit listrik berbasis EBT hingga 2030 ini mencapai 20,9 Giga Watt atau sekitar 51,6% dari total tambahan pembangkit listrik yang akan dibangun hingga 2030 sebesar 40,6 GW.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun telah menyusun peta jalan menuju netral karbon, termasuk memensiunkan PLTU secara bertahap. Setidaknya 5,5 GW-9,2 GW PLTU batu bara direncanakan akan disetop hingga 2030 mendatang. Berikut tahapannya:
1. Tahun 2021 - 2025:
- 2021 : Peraturan Presiden (Perpres) EBT, Perpres Retirement Coal, co-firing PLTU, CCT, Konversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) ke gas dan EBT.
- 2022 : Undang-Undang EBT, kompor listrik 2 juta rumah tangga per tahun
- 2024 : Interkoneksi, smart grid & smart meter
- 2025 : EBT 23% didominasi PLTS:
* Rasio Elektrifikasi 100%
* Listrik 1.217 kWh/kapita
* Pumped storage mulai COD
* Penurunan emisi 198 juta ton CO2
2. Tahun 2026 - 2030
- 2027 : Penurunan impor LPG secara bertahap
- 2030 : EBT 26,5% didominasi Hidro, Panas Bumi, dan PLTS
* Tidak ada penambahan pembangkit listrik berbasis fosil pasca 2030
* Kendaraan listrik (EV) 2 juta mobil dan 13 juta motor
* Bahan Bakar Gas (BBG) 300 ribu
* Jargas untuk 10 juta rumah
* Pemanfaatan Dimethyl Ether (DME)
* Listrik 1.548 kWh/kapita
* Penurunan emisi 314 juta ton CO2
3. Tahun 2031 - 2035
- 2031 : Retirement PLTU tahap pertama subcritical, interkoneksi antarpulau mulai COD
* Tidak ada PLTD lagi
* Mulai pemanfaatan Hidrogen untuk listrik
* Penggunaan baterai semakin besar
- 2035 : EBT 57% dominasi PLTS, Hidro, panas bumi
* Listrik 2.085 kWh/kapita
* Penurunan emisi 475 juta ton CO2
4. Tahun 2036 - 2040
- 2036 : Retirement PLTU tahap kedua subcritical, critical, & sebagian super critical
- EBT 66% dominasi PLTS, Hidro & Bioenergi
* Penurunan penjualan motor konvensional
* Lampu LED 70%
* Listrik 2.847 kWh/kapita
* Penurunan emisi 796 juta ton CO2
5. Tahun 2041 - 2050
- 2048 : PLTAL skala besar mulai COD
- 2049 : PLTN pertama mulai COD
- 2050 : EBT 93% didominasi PLTS, Hidro, dan Bioenergi
* Penurunan penjualan mobil konvensional
* Listrik 4.299 kWh/kapita
* Penurunan emisi 956 juta ton CO2
6. Tahun 2051 - 2060
- 2051 : Pemanfaatan Hidrogen semakin masif
- 2054 : Sisa PLTGU < 1 GW
- 2057 : Sisa PLTU < 1 GW
- 2060 : EBT 100%, dominasi PLTS, Hidro, dan Angin
* Seluruh motor berbasis listrik
* Kompor listrik 52 juta RT
* Jargas 23 juta SR
* Listrik 5.308 kWh/kapita
* Penurunan emisi 1.526 juta ton CO2.
Bagaimana dengan rencana PLN? Simak di halaman berikutnya..
Senada dengan pemerintah, PT PLN (Persero) juga berencana memensiunkan PLTU secara bertahap.
PLN akan mulai menggantikan PLTU dan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) dengan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) sebesar 1,1 Giga Watt (GW) pada 2025 mendatang.
"Kami bangun time line, yakni 2025-2030 sudah haramkan PLTU baru, bahkan diharapkan di 2025 ada replacement (penggantian) PLTU dan PLTMG dengan pembangkit listrik EBT," kata Darmawan Prasodjo yang saat itu masih menjabat sebagai Wakil Direktur Utama PLN dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Kamis (27/05/2021).
Selanjutnya, PLN menargetkan akan mempensiunkan PLTU Subcritical tahap I dengan kapasitas mencapai 1 GW pada 2030.
"Di 2030 retirement (pensiun) subcritical tahap pertama 1 GW," imbuhnya.
Lalu, memensiunkan PLTU Subcritical tahap II dengan kapasitas 9 GW pada 2035. Dan pada 2040 ditargetkan bisa mempensiunkan PLTU Supercritical sebesar 10 GW.
Sementara PLTU Ultra Supercritical tahap I ditargetkan bisa dipensiunkan pada 2045 sebesar 24 GW dan PLTU Ultra Supercritical terakhir sebesar 5 GW bisa dipensiunkan pada 2055.
"Retirement PLTU Ultra Supercritical secara bertahap bisa dilaksanakan dari 2045-2056, dan pada akhirnya bisa mencapai carbon neutral pada 2060," ujarnya.
Pemerintah bakal menerapkan pajak karbon pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mulai 1 April 2022 mendatang. Besaran pajak yang dikenakan yaitu Rp 30 per kilo gram (kg) atau setara Rp 30 ribu atau sekitar US$ 2 per ton emisi CO2/MWH (Mega Watt hour).
Penerapan pajak karbon khusus untuk PLTU batu bara ini akan ditetapkan di dalam tiga grup.
Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Wanhar mengatakan, pembagian tiga grup ini karena sama seperti saat uji coba dilakukan, mengingat banyaknya variasi pembangkit.
"Jadi cap (batas emisi) yang sudah ditetapkan dalam rangka uji coba tersebut, memang kita bagi dalam tiga grup," ungkapnya dalam 'Indonesia Carbon Forum', Rabu (01/12/2021).
Dia menjabarkan, pengelompokan tiga grup PLTU ini berdasarkan kapasitas pembangkit listrik, yakni kapasitas PLTU di atas 400 MW, 100-400 MW, dan PLTU Mulut Tambang 100-400 MW.
Berikut rincian batasan emisi per kelompok tersebut:
1. PLTU dengan kapasitas di atas 400 MW: nilai batasan emisi (cap) ditetapkan sebesar 0,918 ton CO2 per Mega Watt-hour (MWh).
2. PLTU dengan kapasitas 100-400 MW: dengan nilai batasan emisi 1,013 ton CO2 per MWh.
3. PLTU Mulut Tambang 100-400 MW, dengan nilai cap sebesar 1,94 ton CO2 per MWh.
"Ini pertimbangan yang kita lakukan mengingat situasi dan kondisi PLTU di Indonesia. Sebaiknya memang satu, kenapa gak satu cap-nya tapi inilah jadi dasar, ada tiga cap PLTU di Indonesia," jelasnya.
Dia mengatakan, uji coba batasan emisi dilakukan pada PLTU karena berdasarkan data realisasi Agustus 2021, PLTU menyumbang 65,64% dari total energi listrik pembangkit nasional.
Lalu berdasarkan data per September 2021, PLTU menyumbang 47,4% dari kapasitas sistem pembangkit di Indonesia atau sekitar 35 Giga Watt (GW) dari total kapasitas terpasang nasional.
"Kemudian juga dalam hal emisi, data Gatrik 2019 yang jadi dasar tetapkan cap ini merupakan 75,2% emisi yang ada di pembangkit yang kita lakukan uji coba dari total emisi," paparnya.
Akan tetapi, pajak karbon ini belum akan diberlakukan pada PLTU batu bara dengan kapasitas di bawah 100 Mega Watt (MW), termasuk pembangkit yang biasanya dimiliki oleh beberapa industri tertentu (captive power) dengan kapasitas di bawah 100 MW.
"Yang pasti karena (captive power di bawah 100 MW) tidak masuk dalam tiga grup ini, kelihatannya belum ya untuk 1 April 2022," ungkapnya.