Batas Harga Batu Bara DMO Listrik Akan Diubah, Lebihi US$70?

Wilda Asmarini, CNBC Indonesia
21 December 2021 16:40
Pekerja membersihkan sisa-sisa batu bara yang berada di luar kapal tongkang pada saat bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (22/11/2021). Pemerintah Indonesia berambisi untuk mengurangi besar-besaran konsumsi batu bara di dalam negeri, bahkan tak mustahil bila meninggalkannya sama sekali. Hal ini tak lain demi mencapai target netral karbon pada 2060 atau lebih cepat, seperti yang dikampanyekan banyak negara di dunia. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Aktivitas Bongkar Muat Batu Bara di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (22/11/2021). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui tengah mengevaluasi batasan harga batu bara untuk kepentingan pembangkit listrik dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO).

Seperti diketahui, saat ini harga DMO batu bara untuk pembangkit listrik PT PLN (Persero) dipatok maksimal sebesar US$ 70 per ton. Ketika harga batu bara di pasar internasional kini terus melonjak, maka PT PLN (Persero) akan terlindungi dengan batasan harga batu bara tersebut.

Namun dengan pengkajian ulang harga DMO batu bara ini, apa artinya batasan harga DMO akan dinaikkan dari batasan maksimal saat ini US$ 70 per ton?

Sunindyo Suryo Herdadi, Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM, mengatakan pihaknya tengah mengevaluasi batasan harga DMO batu bara untuk pembangkit listrik PLN ini dengan mempertimbangkan kepatuhan perusahaan batu bara untuk memenuhi DMO tersebut.

"Saat ini benar kami di Direktorat sedang lakukan evaluasi terkait harga patokan batu bara, khususnya untuk kebutuhan pembangkit listrik," ungkapnya saat konferensi pers, Selasa (21/12/2021).

"Saat ini kita sedang melihat dinamika dari kepatuhan perusahaan untuk memenuhi DMO. DMO yang sekarang menjadi prioritas DMO untuk PLN, pembangkit listrik untuk umum," lanjutnya.

Dia mengatakan, dari sisi indeks harga batu bara internasional yang menjadi acuan penentuan Harga Batu Bara Acuan (HBA) tetap masih mengacu pada empat indeks yang ada saat ini. Hanya batasan harga DMO batu bara lah yang tengah dievaluasi.

Sebagai informasi, HBA merupakan harga yang diperoleh dari rata-rata indeks Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt's 5900 pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6.322 kcal/kg GAR, total moisture 8%, total sulphur 0,8%, dan ash 15%.

"Formula HBA masih menggunakan empat indeks. Kita lakukan evaluasi capping harga US$ 70, kita lihat kepatuhan wajib DMO kepada PLN," ujarnya.

Namun sayangnya dia enggan merinci seperti apa batasan harga DMO yang akan diubah tersebut.

"Belum bisa kami publish secara detail, segera kita infokan," ucapnya.

Tak hanya mengevaluasi harga DMO batu bara untuk pembangkit listrik, Kementerian ESDM juga tengah mengevaluasi harga DMO batu bara untuk pabrik semen dan pupuk yang kini ditetapkan sebesar US$ 90 per ton, berlaku hingga akhir Maret 2022.

Muhammad Wafid, Direktur Penerimaan Minerba Ditjen Minerba Kementerian ESDM, menuturkan bahwa pihaknya terus melakukan evaluasi harga batu bara untuk kepentingan listrik, semen, dan pupuk.

"Harga DMO batu bara untuk pembangkit listrik yang dibatasi US$ 70 atau US$ 90 untuk semen dan pupuk akan dilakukan kajian. Ketiga dievaluasi terus-menerus, sehingga yang jadi kewajiban perusahaan dan pelayanan pemerintah ke masyarakat bisa dilakukan dengan baik, berimbang," tuturnya.

Sebelumnya, rencana ini juga sempat diutarakan Direktur Jenderal Minerba Ridwan Djamaluddin. Ridwan mengatakan, pemerintah membuka opsi harga batas bawah (floor price) dari saat ini berlaku harga batas atas (ceiling price).

Dia menjelaskan, rencana perubahan skema harga DMO batu bara ini karena dipicu oleh setidaknya lima permasalahan dalam pelaksanaan DMO di dalam negeri. Pertama, kewajiban DMO sebesar 25% dikenakan kepada seluruh badan usaha pertambangan tahap operasi produksi.

Kedua, tidak semua spesifikasi batu bara yang diproduksi oleh badan usaha pertambangan punya pasar di dalam negeri. Ketiga, mengenai spesifikasi batu bara yang dimiliki pasar dalam negeri tidak semua diserap oleh pasar dalam negeri.

Keempat, konsumsi batu bara dalam negeri lebih kecil dibandingkan produksi batu bara nasional.

"Dan terakhir tidak semua badan usaha pertambangan memiliki kesempatan mendapatkan kontrak penjualan dengan pengguna batu bara dalam negeri," ungkap Ridwan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Senin (15/11/2021).

Oleh karena itu, menurutnya Kementerian ESDM punya tiga usulan dalam memecahkan masalah ini. Pertama, pembangunan fasilitas pencampuran batu bara (coal blending facility) yang dikelola oleh badan usaha (BUMN/swasta) untuk mengolah berbagai spesifikasi batu bara agar sesuai dengan spesifikasi batu bara yang dibutuhkan di dalam negeri.

"Kedua, skema pengenaan dana kompensasi bagi badan usaha pertambangan yang tidak dapat memenuhi kewajiban DMO, yang selanjutnya dana tersebut digunakan untuk menambah subsidi bagi PLN atau untuk pembangunan coal blending facility," lanjutnya.

Dan usulan terakhir adalah alternatif pengaturan harga batu bara dalam negeri, terdiri dari penetapan harga batas atas (ceiling price) seperti yang saat ini sudah dilakukan untuk kelistrikan umum, industri semen dan pupuk.

Selanjutnya, opsi penetapan harga batas atas (ceiling price) dan harga batas bawah (floor price).

"Harga batas bawah bertujuan untuk melindungi produsen batu bara agar tetap dapat berproduksi pada tingkat keekonomiannya saat harga batu bara sedang rendah," ungkapnya.

Kemudian, pengaturan skema kontrak penjualan dalam negeri melalui skema kontrak harga tetap (fixed price) dengan besaran harga yang disepakati secara Business to Business (B to B).


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Batu Bara to the Moon, Produksi 'Cuma' Naik 5% H1 2021

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular