Jokowi Mau RI Untung Dagang Sama China! Bisa, Pak...?
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan mulai tahun depan neraca perdagangan Indonesia dengan China tidak lagi defisit. Per Oktober 2021, neraca dagang non migas Indonesia dengan China memang sudah surplus US$ 3,13 miliar dengan ekspor U$ 40,59 miliar dan impor US$ 43,72 miliar.
Menurut data BPS Indonesia, terakhir tahun 2007 neraca dagang Indonesia dengan Negeri Tirai Bambu tersebut surplus. Saat itu, ekspor tercatat US$ 9,68 miliar dan impor US$ 8,56 miliar, sehingga surplus sebesar US$ 1,12 miliar.
"Khusus RRT (Republik Rakyat Tiongkok), yang dulu defisit tahun depan sudah surplus," tegas Jokowi dalam pidato di acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2021, Rabu (24/11/2021).
Caranya, lanjut Jokowi, Indonesia harus mengekspor produk-produk bernilai tambah yang harganya lebih mahal. Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan ekspor komoditas mentah, harus diolah menjadi barang jadi atau setengah jadi.
Jokowi mencontohkan saat Indonesia masih mengizinkan ekspor nikel mentah, nilainya sekitar US$ 1,1 miliar. Namun saat ekspor nikel mentah dilarang, industri pengolahan komoditas itu tumbuh dan menghasilkan ekspor sekitar US$ 20 miliar tahun ini.
"Kalau nanti bauksit disetop, nilainya akan melompat ke angka kurang lebih US$ 20-23 miliar. Bayangkan, diindustrilisasikan, dihilirisasikan di negara kita," kata Jokowi.
Pemerintah terus mendorong hilirisasi di sektor pertambangan demi meningkatkan nilai tambah. Pemerintah pun menargetkan 53 smelter beroperasi pada 2024, bertambah 34 smelter dari 19 smelter beroperasi pada 2020.
Namun, membuat surplus perdagangan tahun depan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada beberapa kendala yang dihadapi seperti pendanaan, lahan, kebutuhan listrik, dan pandemi yang masih berlangsung membuat pembangunan smelter untuk hilirisasi terancam mangkrak.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengatakan, ada 12 perusahaan smelter yang saat ini mengalami kendala pendanaan.
Dari 12 smelter tersebut, delapan perusahaan di antaranya adalah smelter nikel. Sisanya, tiga smelter bauksit dan satu smelter mangan.
"Masalah pendanaan ingin kami laporkan bagaimana kondisi di lapangan, setidaknya ada 12 perusahaan alami masalah pendanaan, delapan di antaranya smelter nikel," paparnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (10/11/2021).
Dia mengatakan, dana yang dibutuhkan untuk membangun smelter berkisar pada US$ 4,5 miliar atau sekitar Rp 63,9 triliun (asumsi kurs Rp 14.200 per US$).
Tampaknya masih sangat berat untuk mencapai surplus perdagangan dengan China tahun depan. Namun bukan berarti tidak bisa dicapai pada beberapa tahun mendatang.
Pertumbuhan ekspor Indonesia ke China dibanding pertumbuhan impor ke negeri panda tersebut lebih tinggi sepanjang tahun 2021. Pada bulan Oktober, ekspor Indonesia ke China bertumbuh 30,45% dari bulan ke bulan (mtm). Pertumbuhan akumulasi Januari-Oktober 2021 sebesar 74,23% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Sedangkan impor bertumbuh 3,75% mtm dan secara akumulasi bertumbuh 40,95%.
Tren pertumbuhan ini dinilai memberikan optimisme perbaikan neraca dagang Indonesia-China ke depannya, menurut Kasan Muhri, Kepala Badan Pengkajian Pengembangan Perdagangan (BPPP).
"Hal ini menyebabkan terjadinya perbaikan neraca dagang Indonesia dan China, yang berubah dari defisit neraca menjadi surplus beberapa tahun ke depan," kata Kasan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ras/ras)