'Perang Bharatayudha' OPEC vs Amerika Dkk! Siapa Menang?

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
24 November 2021 08:40
Produksi minyak AS
Foto: Doc. Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) menekan OPEC+ agar memproduksi lebih banyak minyak untuk mendinginkan harga yang melambung. Akan tetapi, masalah baru muncul ketika kartel eksportir minyak tersebut tidak memiliki banyak kapasitas untuk menaikkan produksi lebih cepat, bahkan ketika mereka ingin melakukannya sekarang.

OPEC+ sebenarnya telah membuka pembatasan produksi yang dibuat pada tahun 2020 ketika permintaan melemah. Tetapi dianggap tidak cukup cepat bagi AS yang mengkhawatirkan harga yang mendekati level tertinggi tiga tahun.

Organisasi negara produsen minyak tersebut memilih tetap pada rencananya untuk secara bertahap meningkatkan produksi sebesar 400.000 barel per hari (bph) tiap bulan, sejak Agustus. Langkah tersebut dinilai cukup bagi OPEC+ yang menilai peningkatan produksi lebih cepat akan berujung surplus pada tahun 2022.

Faktanya dengan laju produksi yang dinilai lamban oleh AS, OPEC+ tidak mampu mencapai target prduksi. Produksi OPEC+ masih kurang 700.000 bph pada dari target September dan Oktober, menurut Badan Energi Internasional (IEA).

Jatuhnya investasi dalam produksi minyak karena pandemi dan tekanan lingkungan terutama di negara-negara OPEC yang lebih miskin jadi penyebab target tersebut tidak terpenuhi.

Akibatnya, hanya tiga negara konglomerat OPEC, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Irak, yang mampu menyediakan kapasitas ekstra untuk meningkatkan produksi lebih cepat.

Fakta ini meningkatkan prospek pasokan yang ketat dan harga minyak yang tinggi di masa depan.

Halaman Selanjutnya --> Upaya Biden Tekan OPEC+ Tingkatkan Produksi Minyak Buntu

Saat Donald Trump memimpin, AS berhasil menekan OPEC untuk memangkas produksi ketika harga jatuh dan mengancam menghancurkan industri minyak AS pada tahun lalu. Saat itu OPEC sepakat memotong produksi sekitar 10 juta barel per hari.  

Sekarang, permintaan minyak telah pulih lebih cepat dari perkiraan karena ekonomi dunia yang mulai bangkit dan mobilitas masyarakat yang kembali normal. Sejak akhir 2020 year-to-date (ytd), harga brent dan light sweet meroket masing-masing 58,61% dan 61,62%.

"OPEC tetap tuli terhadap tekanan politik untuk mempercepat peningkatan pasokan," kata Energy Aspects.

Sikap keras OPEC terhadap produksi minyak, membuat Biden memilih untuk merilis cadangan minyak strategisnya. Biden juga meminta China, India, Korea Selatan dan Jepang melakukan hal yang sama dengan terkoordinasi.

Namun langkah itu tak mulus karena mandat IEA bahwa cadangan harus dikeluarkan untuk mengatasi guncangan seperti perang atau badai, bukan untuk mendinginkan harga.

"Rilis (cadangan minyak) hanya akan memberikan perbaikan jangka pendek untuk defisit struktural dan akan menciptakan risiko kenaikan yang jelas untuk perkiraan harga 2022 kami," tulis Goldman Sachs.

Masalah yang lebih fundamental adalah investasi di produksi minyak yang terhambat oleh kekhawatiran lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG) serta kekhawatiran tentang pemanasan global. Bank sebagai sumber pendanaan pun memberikan pinjaman dengan bunga lebih tinggi untuk minyak dibandingkan proyek energi hijau.

"Kerusakan investor akibat kehancuran modal produsen minyak selama tujuh tahun terakhir kini diperparah dengan alokasi (dana ke) ESG," kata Goldman.

Halaman Selanjutnya --> Target Tidak Kena, Minyak Masih Bullish

IEA mengatakan Angola dan Nigeria menyumbang hampir 90% dari kekurangan produksi OPEC 730.000 barel per hari dari target Oktober. Energy Aspects memperkirakan kekurangan produksi OPEC akan terus tumbuh.

Jika OPEC mengambil langkah menaikkan produksi untuk menutup kekurangan, itu akan mengurangi kapasitas cadangan. Hal tersebut dapat menimbulkan kekhawatiran investor dan kenaikan harga lebih lanjut karena tidak adanya kapasitas ekstra untuk mengatasi lonjakan, kata pakar industri.

"Industri memiliki kapasitas cadangan, saat ini ada 3-4 juta barel per hari, memberikan beberapa kenyamanan bagi pasar. Namun, kekhawatiran saya adalah bahwa penyangga (produksi) mungkin berkurang," kata Chief Executive Officer Saudi Aramco Amin Nasser kepada Nikkei Global Management Forum.

Arab Saudi sekarang memproduksi hampir 10 juta barel per hari tetapi tidak pernah memproduksi lebih dari 11 juta barel per hari untuk jangka waktu berbulan-bulan. Meskipun memiliki lebih banyak kapasitas yang tersedia.

Produsen Rusia seperti Gazprom mengatakan mereka telah berjuang untuk memproduksi minyak lebih banyak. Industri serpih minyak AS, dapat membantu mengurangi tekanan harga dengan menaikkan produksi.

Harga minyak masih berpotensi naik ke level yang lebih tinggi dari saat ini. "Kemungkinan lonjakan hingga $100 per barel jelas ada," kata Russell Hardy, kepala salah satu pedagang minyak terbesar dunia Vitol, melansir Reuters, Selasa (23/11/2021).

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ras/ras)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article UEA Blokir Sejumlah Poin, Perundingan OPEC+ Buntu

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular