
Duh, Batu Bara RI Kiamat, Badai PHK Massal Menanti?

Jakarta, CNBC Indonesia - RI mempunyai target mencapai netral karbon pada 2060 mendatang atau lebih cepat. Salah satu upaya pemerintah mencapai target ini yaitu dengan mengurangi konsumsi batu bara di dalam negeri melalui penghentian operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) secara bertahap.
Di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 pun tidak ada tambahan rencana pembangunan PLTU baru, kecuali yang sudah masuk ke tahap kepastian pendanaan (financial closing) atau konstruksi.
Selain tidak ada rencana membangun PLTU baru, pemerintah juga akan memensiunkan PLTU hingga akhirnya pada 2057 diperkirakan hanya akan ada kurang dari 1 GW PLTU yang beroperasi.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli mengharapkan penyetopan PLTU ini tidak sampai berdampak ke Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.
Perlu diketahui, berdasarkan data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM, pada 2021 ini tercatat lebih dari 1.000 perusahaan tambang batu bara, terdiri dari 1.162 Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara, di mana 1.157 IUP Operasi Produksi batu bara dan 5 IUP Eksplorasi batu bara. Selain itu, terdapat sekitar 66 pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).
Pada 2019 pun jumlah tenaga kerja di sektor pertambangan batu bara mencapai 150.000 pekerja.
Adapun jumlah produksi batu bara pada 2021 ini ditargetkan sebesar 625 juta ton, di mana 137,5 juta ton ditargetkan diserap oleh dalam negeri, dan sisanya diekspor.
"Pemerintah sudah memberikan konfirmasi untuk rencana penutupan PLTU secara bertahap sebagai bagian dari komitmen terhadap pencapaian target netral karbon pada tahun 2060," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (23/11/2021).
Pihaknya mengaku mendukung rencana pemerintah untuk mencapai netral karbon, akan tetapi diharapkan rencana penutupan PLTU dilakukan secara bertahap agar ada waktu yang cukup untuk mengembangkan Energi Baru Terbarukan (EBT) sebagai pengganti PLTU.
"Juga penghentian operasional PLTU secara bertahap akan memberikan kesempatan bagi tenaga kerja di industri tersebut untuk bisa berkurang secara alami, seperti misalnya penurunan jumlah tenaga kerja sebagai akibat masa pensiun dan lain-lain," paparnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, dengan penghentian PLTU secara bertahap, maka ini bisa mencegah terjadinya gejolak akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara massal jika penyetopan PLTU dilakukan secara total sekaligus.
"Demikian pula halnya dengan pengurangan tenaga kerja di industri pertambangan batu bara, yang mana akan lebih baik jika terjadi secara alamiah dengan masa pensiun pegawai tanpa harus ada gejolak jika dilakukan penghentian (PHK) secara massal," ungkapnya.
Pemerintah memiliki target ambisius untuk memensiunkan PLTU batu bara sebesar 5,52 GW hingga 9,2 GW sebelum 2030. Hal ini disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam rangkaian KTT Iklim COP 26 di Glasgow, Skotlandia pada awal November lalu.
Target ini jauh lebih tinggi dibandingkan rencana PT PLN (Persero) memensiunkan 1 GW hingga 2030.
Kendati demikian, terkait target ambisius dalam mencapai netral karbon ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah mewanti-wanti agar rencana transisi energi, termasuk menghentikan PLTU tidak membebankan negara maupun rakyat.
Presiden pun meminta adanya rincian peta jalan (road map) menuju netral karbon ini, termasuk kepastian pendanaan dan pembiayaan untuk menutupi tambahan biaya akibat dioperasikannya pembangkit listrik berbasis EBT yang jauh lebih mahal dibandingkan listrik berbasis batu bara.
"Pertanyaannya, skenarionya seperti apa? Misalnya pendanaan datang, investasi datang, kan harganya (EBT) lebih mahal dari batu bara. Siapa yang bayar gap-nya? negara? kita? gak mungkin," tuturnya saat membuka acara The 10th Indonesia EBTKE ConEx di Istana Negara, Senin (22/11/2021).
Karena untuk menutup selisih biaya energi terbarukan dan batu bara ini, menurutnya bisa memerlukan biaya hingga ratusan triliun. Biaya ini juga menurutnya tidak mungkin dibebankan kepada masyarakat karena pasti akan membuat gaduh akibat kenaikan tarif listrik yang sangat tinggi.
"Skenario (road map) seperti apa, ini yang saya tugaskan kepada Menko Marves, Menteri ESDM, plus Menteri BUMN, yang konkret-konkret saja," tegasnya.
"Lagi, saya minta masukan dan kalkulasi detil angka-angka kenaikannya berapa, gap yang harus dibayar berapa untuk Indonesia saja. Kalau ketemu syukur bisa dirumuskan, Pak ini dari jurus ini, bisa diselesaikan dari sisi ini, bisa diselesaikan itu yang kita harapkan. Kalau ketemu (solusinya), saya sampaikan di G20 di Bali tahun depan," tandasnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tinggalkan Batu Bara, Siap-Siap RI Kehilangan Puluhan Triliun
