Jokowi Atur Jabatan Wamen ESDM, Gegara Segudang Masalah Ini?

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
22 November 2021 20:12
Pengarahan Presiden Jokowi kepada Komisaris dan Direksi Pertamina dan PLN
Foto: Pengarahan Presiden Jokowi kepada Komisaris dan Direksi Pertamina dan PLN, 16 November 2021. (Tangkapan Layar via Youtube Sekretariat Presiden)

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 97 tahun 2021 tentang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Dalam aturan yang telah diteken pada 25 Oktober 2021 itu, Presiden Jokowi mengatur secara spesifik posisi Wakil Menteri (Wamen) ESDM.

"Dalam memimpin Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri dapat dibantu oleh Wakil Menteri sesuai dengan penunjukan Presiden," tulis Pasal 2 aturan tersebut, dikutip Senin (22/11/2021).

Dipublikasikannya Peraturan Presiden ini hampir bersamaan dengan murkanya Jokowi kepada dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor energi yakni PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) pada Selasa (16/11/2021) yang juga baru dipublikasikan pada Sabtu (20/11/2021) lalu.

Saat memberikan pengarahan kepada Pertamina dan PLN itu, Jokowi pun mengungkapkan kekesalannya terhadap sejumlah isu di sektor energi, baik minyak dan gas bumi (migas) maupun kelistrikan RI.

Jokowi menyinggung masih lambatnya progres pembangunan kilang minyak, masih besarnya impor minyak, sulitnya calon investor yang ingin berinvestasi, hingga transparansi masalah penugasan dari pemerintah, seperti penyaluran BBM dan subsidi listrik.

Namun memang, sektor ESDM memang masih memiliki banyak masalah di dalamnya. Tak hanya yang telah disebutkan Jokowi di atas, sejumlah lain juga muncul setidaknya dalam kurun waktu setahun belakang, antara lain masalah pasokan batu bara ke PT PLN (Persero) yang sempat kritis, rencana perubahan aturan penjualan batu bara domestik atau Domestic Market Obligation (DMO).

Lalu, bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) yang capaiannya masih sekitar 11,2%, jauh dari target bauran 23% pada 2025 mendatang, mangkraknya proyek Pipa Transmisi Gas Bumi ruas Cirebon-Semarang (Cisem), serta segudang masalah lainnya.

Berikut sejumlah masalah yang terjadi di bawah kewenangan pengawasan Kementerian ESDM, seperti dirangkum CNBC Indonesia:

1. Pasokan Batu Bara ke PLN Sempat Kritis

Harga batu bara yang sempat melangit, bahkan sempat menembus di atas US$ 200 per ton, membuat perusahaan batu bara memilih untuk ekspor daripada menjual di dalam negeri. Pasalnya, harga jual batu bara dalam negeri sesuai DMO dipatok maksimal US$ 70 per ton.

Akibatnya, pasokan batu bara PT PLN (Persero) sempat seret. Bahkan, ketersediaan batu bara di beberapa PLTU ada yang kurang dari 10 hari, sehingga PLN butuh pasokan batu bara lebih banyak lagi.

Pada 7 Agustus 2021 lalu Kementerian ESDM melarang 34 perusahaan batu bara untuk mengekspor karena tidak memenuhi kewajiban pasokan batu bara sesuai kontrak dengan PT PLN (Persero) dan atau PT PLN Batubara periode 1 Januari-31 Juli 2021.

Pasokan batu bara PLN yang sempat kritis disampaikan oleh Muhammad Wafid, Direktur Penerimaan Mineral dan Batu Bara Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM.

"Konsentrasi kami adalah jaminan tersedianya kebutuhan batu bara untuk pembangkit PLN yang beberapa sudah kritis. Kami tidak mau ada listrik padam gara-gara tidak adanya pasokan batu bara," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (10/08/2021).

PT PLN (Persero) pun menyampaikan ada banyak perusahaan batu bara yang tidak memenuhi kewajiban DMO-nya, khususnya untuk kebutuhan PLTU.

Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI, Senin (15/11/2021), mengatakan realisasi penyerapan batu bara untuk PLTU, baik ke PLN Group maupun ke pengembang listrik swasta (Independent Power Producers/ IPP) hingga Oktober 2021 mencapai 93,2 juta ton.

Adapun realisasi penyerapan batu bara untuk pembangkit listrik nasional tersebut terdiri dari untuk PLN Grup 55,5 juta ton dan IPP 37,6 juta ton.

"Masih terdapat gap atas realisasi pemenuhan batu bara dengan kewajiban pemenuhan kebutuhan batu bara dalam negeri," ungkapnya dalam RDP dengan Komisi VII DPR RI, Senin (15/11/2021).


2. Rencana Perubahan Aturan DMO Batu Bara

Demi mengamankan pasokan batu bara terutama PLTU batu bara, pemerintah menerapkan kebijakan DMO. Harga DMO batu bara untuk pembangkit listrik pun dipatok maksimal US$ 70 per ton dan kini untuk pabrik semen dan pupuk ditetapkan US$ 90 per ton.

Khusus batu bara untuk pabrik pupuk semen ini berlaku sejak 1 November 2021 hingga 31 Maret 2022.

Namun, di tengah tren harga batu bara yang melambung tinggi, PT PLN (Persero) mengaku kesulitan mendapatkan pasokan batu bara karena perusahaan lebih memilih ekspor ketimbang memasok untuk kebutuhan pembangkit listrik dalam negeri.

Kementerian ESDM pun berencana untuk mengubah skema harga DMO batu bara ini, dari saat ini berupa harga batas atas (ceiling price) dengan dipatok maksimal US$ 70 per ton, namun kini diusulkan diubah menjadi beberapa opsi, termasuk adanya harga batas bawah (floor price) yang ditujukan untuk melindungi produsen.

Lalu, apa dampaknya jika skema harga DMO untuk pembangkit listrik yang ada saat ini dicabut?

Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengatakan, DMO batu bara ditujukan untuk mengatur volume dan harga batu bara untuk industri di dalam negeri, sebagaimana diatur oleh pemerintah di dalam Peraturan Menteri ESDM.

Jika aturan DMO dilepas, maka menurutnya ini akan berdampak pada kepastian pasokan batu bara dalam negeri dan juga lonjakan biaya yang pada ujungnya bisa berdampak pada kenaikan subsidi atau tarif listrik masyarakat.

"Ini terkait energy security, kalau lepas DMO harus pikirkan apakah pasokan dalam negeri ini energinya akan secure? kalau gak pasti, listrik akan mati," paparnya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Senin (15/11/2021).

Dampak kedua bila DMO ini dicabut yaitu adanya kenaikan harga batu bara yang akan berdampak langsung pada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik. Kenaikan ongkos produksi ini menurutnya juga akan berdampak langsung pada subsidi dan kompensasi listrik dari pemerintah ke PLN.

"Jadi biaya di PLN disalurkan langsung pada dua hal, subsidi dan kompensasi, apakah dengan kenaikan ini kita siap untuk menaikkan subsidi dan naikkan kompensasi," tanyanya.

Dan kemudian, imbuhnya, jika tariff adjustment (tarif penyesuaian untuk golongan pelanggan non subsidi) semisal dilepas akibat dari kenaikan BPP, maka subsidi untuk pelanggan 450 VA dan 900 VA akan naik. Kenaikan biaya PLN juga akan langsung berdampak pada kenaikan tarif listrik ke konsumen yang tidak disubsidi.

"Subsidi saat ini masih ditanggung negara dalam bentuk kompensasi, apakah kita mau naikkan tarif listrik masyarakat akibat lepas DMO?" ucapnya.


3. Bauran EBT Stagnan

Indonesia punya target mengejar bauran EBT sebesar 23% pada 2025 mendatang. Terakhir pada tahun lalu capaian bauran sebesar 11,2%, namun sampai kuartal III 2021 malah turun menjadi 10,9%. Adapun target bauran energi baru terbarukan pada 2021 ini mencapai 15%.

4. Impor Minyak Masih Selangit

Badan Pusat Statistik (BPS) RI mencatat impor minyak mentah RI selama Januari-Oktober 2021 mencapai 10,86 juta ton, naik 18,8% dibandingkan Januari-Oktober 2020 yang tercatat sebesar 9,14 juta ton.

Adapun total nilai impor minyak mentah selama 10 bulan dalam tahun ini tercatat sebesar US$ 5,31 miliar, melonjak 80% dibandingkan periode yang sama 2020 yang sebesar US$ 2,95 miliar.

Sementara untuk impor hasil minyak, termasuk Bahan Bakar Minyak (BBM) atau bensin, bahan bakar pesawat atau avtur, hingga diesel, selama Januari-Oktober 2021 tercatat mencapai 16,93 juta ton, hanya naik 0,5% dari periode yang sama 2020 yang tercatat sebesar 16,85 juta ton.

Namun secara total nilai, impor produk minyak selama Januari-Oktober 2021 ini tercatat mencapai US$ 10,63 miliar, melonjak 59,58% dari periode yang sama 2020 sebesar US$ 6,66 miliar.

Dari sisi impor bensin, impor untuk bensin dengan nilai oktan (RON) 90 ke atas seperti Pertamax tercatat sebesar 5,92 juta ton selama Januari-Oktober 2021, naik 55% dibandingkan periode yang sama 2020 sebesar 3,81 juta ton.

Sementara impor bensin dengan nilai oktan di bawah 90 seperti Premium tercatat sebesar 4,81 juta ton selama 10 bulan di 2021 ini, turun 19% dibandingkan periode yang sama 2020 yang tercatat lebih tinggi sebesar 5,97 juta ton.

Adapun impor bahan bakar pesawat, baik aviation gasoline (avgas) dan aviation turbine (avtur), selama Januari-Oktober 2021 tercatat sebesar 27.511,2 ton, anjlok 70% dibandingkan periode yang sama 2020 yang sebesar 92.962,5 ton. Secara nilai, impor avtur ini turun 39,3% menjadi US$ 16.96 juta dari US$ 27,94 juta pada periode yang sama 2020.

Sedangkan untuk impor bahan bakar diesel selama Januari-Oktober 2021 tercatat sebesar 2,77 juta ton, turun 18,5% dibandingkan 3,40 juta ton pada periode yang sama 2020. Namun secara nilai masih ada peningkatan 17,28% menjadi US$ 1,47 miliar pada Januari-Oktober 2021 dari US$ 1,25 miliar pada periode yang sama 2020.

Dari sisi impor LPG, selama Januari-Oktober 2021 tercatat mencapai 5,30 juta ton, naik tipis dari periode yang sama 2020 sebesar 5,24 juta ton. Namun secara nilai melonjak 53,24% menjadi US$ 3,19 miliar dari US$ 2,08 miliar pada Januari-Oktober 2020.


5. Proyek Kilang Belum Jalan

Jokowi mengungkapkan kekesalannya pada PT Pertamina (Persero) akibat proyek kilang proyek kilang di Tuban yang digarap PT Pertamina (Persero) sempat tertunda.
Proyek ini merupakan proyek pembangunan kilang minyak baru (Grass Root Refinery/GRR).

Di mana pembangunannya merupakan bentuk kerja sama antara Pertamina bersama perusahaan minyak asal Rusia, Rosneft, berlokasi di Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.

Menurutnya awal mula Rosneft ingin berinvestasi bersama Pertamina, namun tak disambut dengan cepat oleh Pertamina. Malah sekarang baru terealisasi 5%.

"Pertamina sudah bertahun-tahun yang namanya Rosneft di Tuban ingin investasi. Sudah mulai, saya ngerti Rosneftnya ingin cepat, tapi kitanya gak pengen cepat," jelas Jokowi dalam siaran di saluran YouTube Sekretariat Presiden, Sabtu (20/11/2021).

"Ini investasinya besar sekali, Rp 168 triliun, tapi realisasi baru kira-kira Rp 5,8 triliun," ujar Jokowi lagi sambil menarik nafas panjang.

Menurut Jokowi, mandeknya proyek kilang ini, karena berbagai alasan. Salah satunya pemerintah diminta untuk membangun sejumlah infrastruktur yang bisa menghubungkan kepada proyek tersebut.

Kendati demikian, alasan mendasar proyek ini tertahan, menurut Jokowi, bukan karena permintaan pembangunan infrastruktur itu. Tapi, karena budaya bisnis yang dijalankan Pertamina tersebut tidak pernah berubah, atau hanya mengerjakan proyek sesuai rutinitas saja.

"Alasannya ada saja, minta kereta api lah, minta jalan tol lah. Baru mulai berapa persen Rp 5 triliun itu, 5% aja belum ada, gak ada masalah kok. Memang fasilitas seperti itu, pemerintah yang harus membangun, gak ada masalah," jelas Jokowi.

"Ini ada masalah karena ini, tapi kan problemnya bukan itu. Problemnya comfort zone, zona nyaman, zona rutinitas itu yang ingin kita hilangkan. Masih senang dengan comfort zone, udah gak bisa lagi," tuturnya.


6. Proyek Pipa Gas Cisem Mangkrak

Proyek pipa transmisi gas ruas Cirebon-Semarang (Cisem) yang sudah mangkrak selama 15 tahun. PT Rekayasa Industri (Rekind) yang telah ditunjuk sejak 2006 untuk membangun pipa ini tak kunjung mengerjakan proyek.

Malah akhirnya menyatakan mundur dari proyek ini pada Oktober 2020 lalu. Setelah itu, proyek menjadi semakin tidak jelas.

Setelah Rekind menyatakan mundur pun masih ada isu lain yang menyebabkan proyek ini masih terlantar. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menginginkan agar proyek ini jatuh kepada pemenang kedua saat lelang dilakukan pada 2006 lalu, yakni PT Bakrie and Brothers Tbk (BNBR).

Harapan BPH Migas itu dipupuskan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam surat keputusannya yang ditujukan kepada BPH Migas pada 1 April 2021 yakni surat Nomor T-133/MG.04/MEM.M/2021 menyatakan bahwa "Sesuai Pasal 3 dan Pasal 4 PP No. 36 Tahun 2004 bahwasannya untuk membangun pipa gas bumi ruas transmisi Cirebon-Semarang dilaksanakan dengan skema APBN."

Setelah melewati drama selama 15 tahun, proyek Pipa Cisem akan dimulai pembangunanya pada tahun depan dengan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengambil alih proyek ini dan menganggarkan Rp 1,14 triliun untuk pembangunan proyek pipa gas transmisi ini.

Pembangunan pipa transmisi gas ini akan dimulai dari ruas Semarang-Batang sepanjang ± 62 km. Rincian ini tertuang dalam surat pengumuman Nomor: 3.Pm/MG.07/DJM/2021 tentang Rencana Pembangunan Pipa Transmisi Gas Cirebon-Semarang.

Dalam surat pengumuman ini disebutkan bahwa Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM ditunjuk sebagai pemilik kegiatan Pembangunan Pipa Transmisi Gas Cirebon-Semarang ini.

Berikut rincian dari pembangunan pipa gas Cirebon-Semarang ini:

1. Pemilik kegiatan adalah Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi.
2. Pelaksana kegiatan ini akan menggunakan skema layanan pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi Rancang dan Bangun (Design and Build) dengan Kontrak Tahun Jamak (Multiyears Contract).
3. Pelaksanaan kegiatan dimulai Tahun Anggaran 2022, dengan nilai proyek sebesar Rp 1,14 triliun.
4. Lingkup pekerjaan: Pembangunan Pipa Transmisi Gas Ruas Semarang-Batang sepanjang ± 62 km berikut fasilitas pendukungnya.
5. Pelaksana kegiatan ini adalah Badan Usaha Jasa Konstruksi Nasional Kualifikasi Besar, yang akan ditetapkan melalui proses tender.
6. Informasi lebih lanjut tentang tender kegiatan Pembangunan Pipa Transmisi Gas Cirebon-Semarang Ruas Semarang-Batang dapat dilihat melalui alamat: www.eproc.esdm.go.id/eproc4/. 


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Murkanya Jokowi Soal Masalah Energi Hingga Jabatan Wamen ESDM

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular