
Dunia Bisa Guncang, Jokowi & Menkeu Takut Negara Ini 'Ngerem'

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan ketakutan akan kondisi global, khususnya Amerika Serikat (AS). Ekonomi AS kini tumbuh terlalu cepat dan pemerintahan Presiden Joe Biden mulai menginjak pedal rem.
"Orang juga takut dengan tapering off, dan bingungnya negara-negara sekarang ini berkaitan dengan global supply chain dan ketergantungan kita pada satu, dua, tiga negara. Dan juga kesulitan kontainer hampir semua ini disrupsi yang mengacaukan," jelas Jokowi.
Hal yang sama disampaikan juga oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Inflasi AS yang kini mencapai 6% atau tertinggi sepanjang sejarah bisa memaksa Bank Sentral AS Federal Reserve (the Fed) mengubah kebijakan moneter atau yang dikenal dengan sebutan tapering.
"Mereka akan dipaksa menginjak rem. Kalau AS ngerem seluruh dunia ikut terguncang," terangnya.
Jelas Sri Mulyani begitu khawatir, sebab ini bukan pertama kalinya terjadi. Cerita yang sama pernah terjadi pada 2013 lalu, ketika pasar keuangan dalam negeri dibuat porak poranda akibat kebijakan tersebut atau disebut taper tantrum. Walaupun Bank Indonesia (BI) meyakini dampak kali ini tidak akan separah dulu.
"Ini akan berdampak pada pengetatan moneter tahun-tahun ke depan, ini harus kita waspadai," ujar Sri Mulyani.
Eropa juga turut memberikan ancaman. Terutama Jerman yang tingkat inflasinya juga melonjak tinggi, akibat kenaikan harga komoditas internasional dan gangguan rantai pasok.
Tak lupa juga China. Negeri yang dipimpin Xi Jinping tersebut sedang dilanda gangguan rantai pasok akibat gelombang baru covid-19.
"Jadi ini lingkungan kita waspadai sampai akhir tahun sampai tahun depan saat jaga ekonomi dan sehatkan APBN," paparnya.
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2021 mencapai 3,51% (year on year/yoy), tumbuh melambat jika dibandingkan dengan Kuartal II-2021 yang mencapai 7,07%. Keseluruhan tahun diperkirakan bisa mencapai 4%.
Tapering off merupakan kebijakan pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) yang dilakukan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed).
Ketika pandemi Covid-19 melanda, The Fed bertindak cepat menyelamatkan perekonomiannya Paman Sam dengan membabat habis suku bunganya menjadi 0,25% pada Maret tahun lalu.
Tidak hanya itu, bank sentral di bawah pimpinan Jerome Powell ini juga kembali mengaktifkan QE, yakni pembelian obligasi pemerintah serta efek beragun aset. Nilai QE tersebut sebesar US$ 120 miliar per bulan, tujuannya menyediakan likuiditas di perekonomian.
Kini, perekonomian AS sudah mulai pulih dari kemerosotan hingga resesi akibat kebijakan lockdown guna meredam penyebaran virus corona. The Fed pun mulai menormalisasi kebijakannya, yang pertama dilakukan yakni mengurangi nilai QE (tapering off).
The Fed sudah resmi mengumumkan tapering pada 4 November lalu dengan nilai US$ 15 miliar setiap bulannya. Artinya, jika QE sebelumnya sebesar US$ 120 miliar, maka di bulan ini berkurang menjadi US$ 105 miliar, dan di Desember US$ 90 miliar. Begitu seterusnya, setiap bulan dikurangi sebesar US$ 15 miliar hingga akhirnya menjadi nol.
Bank Indonesia (BI) memaklumi ketakutan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan kondisi global terkini. Benar adanya langkah 'rem' oleh negara maju bisa membuat dunia terguncang termasuk Indonesia.
"Setiap kebijakan yang diambil negara maju, terutama moneter selalu memunculkan spill over ke negara berkembang," ujar Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI dalam webinar bertema Sinergi Pemerintah, BI, dan OJK dalam Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional.
Ini cukup mengkhawatirkan karena bukan pertama kalinya terjadi. Cerita yang sama pernah terjadi pada 2013 lalu, ketika pasar keuangan dalam negeri dibuat porak poranda akibat kebijakan tersebut atau disebut taper tantrum.
Akhirnya, pemulihan ekonomi pada negara seperti Indonesia bisa terhenti. Dalam teorinya bila AS menaikkan suku bunga acuan, bukan tidak mungkin BI juga mengikuti kebijakan tersebut demi mencegah aliran dana keluar alias outflow.
"Negara berkembang yang belum perlu melakukan kebijakan antisipasi, terpaksa alami konsekuensi pertumbuhan ekonomi yang tergganggu untuk tumbuh," papar Dody.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sri Mulyani Deg-degan: Negara Ini Ngerem, Dunia Terguncang