AS Diserbu Bencana Overdosis Nasional, 100 Ribu Meninggal
Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) kembali dilanda bencana baru. Bencana itu adalah lonjakan kematian akibat overdosis obat pereda rasa sakit atau opioid.
Mengutip CNN International, data yang dirilis Rabu, (17/11/2021) oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS mencatat bahwa dari Mei 2020 hingga April 2021, menyebutkan bahwa dari 100 ribu warga meninggal karena overdosis obat-obatan. Jumlah ini naik hampir 30% dari periode yang sama tahun sebelumnya dan hampir dua kali lipat selama lima tahun terakhir.
Beberapa analis menyebut bahwa pandemi Covid-19 menjadi salah satu katalis bagi peningkatan besar ini. Pandemi membawa beban baru bagi para pecandu obat-obatan.
"Dalam krisis sebesar ini, mereka yang sudah memakai obat mungkin mengambil jumlah yang lebih tinggi dan mereka yang dalam pemulihan mungkin kambuh. Ini adalah fenomena yang telah kita lihat dan mungkin bisa diprediksi," Dr. Nora Volkow, direktur Institut Nasional Penyalahgunaan Narkoba.
Secara rinci, opioid sintetis seperti fentanil, obat penghilang rasa sakit 50-100 kali lebih kuat daripada morfin, menyumbang sebagian besar kematian overdosis obat tersebut. Obat pereda nyeri itu menyumbangkan sekitar 64 ribu kasus kematian.
Sementara itu, pemerintahan Presiden Joe Biden juga ikut bersuara mengenai hal ini. Administrator Administrasi Penegakan Narkoba Gedung Putih Anne Milgram menyebutkan bahwa ini merupakan krisis epidemi nasional yang harus ditangani segera.
"Epidemi overdosis di AS merupakan krisis nasional yang tidak mengenal batas geografis, dan terus memburuk," ujarnya.
Selain itu, pemerintahan Biden juga berjanji untuk menempatkan US$ 4 miliar dana bantuan Covid-19 untuk difokuskan untuk memerangi kematian overdosis dan juga membina kesehatan mental masyarakat.
"Pemerintahan saya juga akan bekerja dalam membuat cakupan kesehatan lebih mudah diakses dan terjangkau untuk semua orang Amerika, sehingga lebih banyak orang yang membutuhkan perawatan bisa mendapatkannya," sebut Biden dalam sebuah konferensi pers.
(tps/sef)