Industri Sawit

Bukan Cuma 'Harta Karun', RI Punya Lumbung Devisa Rp 500 T

Emir Yanwardhana, CNBC Indonesia
17 November 2021 17:05
Pekerja mengangkut kelapa sawit kedalam jip di Perkebunan sawit di kawasan Candali Bogor, Jawa Barat, Senin (13/9/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Pekerja mengangkut kelapa sawit kedalam jip di Perkebunan sawit di kawasan Candali Bogor, Jawa Barat, Senin (13/9/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri sawit masih menjadi lumbung devisa bagi ekonomi Indonesia. Kontribusi devisa dari sektor ini diprediksi bakal melonjak, apalagi harga sawit global terus menyentuh level tertinggi.

Wakil Ketua Umum III Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Togar Sitanggang mengatakan dalam mengatakan kontribusi devisa dari sektor minyak sawit diprediksi mencapai US$ 30 - 33,5 miliar atau mencapai Rp 435 triliun - Rp 485,7 triliun (Asumsi kurs Rp 14.500/US$).

"Dari sisi devisa itu hampir Rp 500 triliun, ini perkiraan sampai akhir tahun semoga bisa tercapai," kata Togar, dalam konferensi pers, Rabu (17/11/2021).

Togar membeberkan per September itu, sumbangan devisa sawit sudah mencapai US$ 26 miliar atau setara Rp 377 triliun dengan asumsi kurs yang sama.

Peningkatan ini tidak luput dari dari harga global sawit yang menyentuh rata-rata di atas US$ 1.000 per metrik ton, bahkan mencapai US$ 1.390 per metrik ton, puncak tertinggi pada Oktober lalu.

Saat ini harga sawit juga diprediksi terus melejit karena produksi di Indonesia dan Malaysia, sebagai produsen global minyak nabati ini sedang mengalami penurunan. Produksi CPO Indonesia bulan September 4.176 ribu ton, turun sekitar 1% dari bulan Agustus dan masih belum naik seperti yang diharapkan, demikian juga produksi Malaysia yang dilaporkan turun 0,39% dari produksi bulan Agustus.

Ketua GAPKI Joko Supriyono menjelaskan produksi dalam negeri sampai akhir tahun diprediksi flat, sementara Malaysia akan turun.

Joko menjelaskan Ekspor sangat bergantung dari produksi sementara saat ini produsen sawit tengah fokus dalam pemenuhan dalam negeri. Hal ini terjadi karena permintaan dalam negeri naik.

"Sampai September ini masih flat. Jadi ya mau tidak mau ekspor akan berkurang. Itu terlihat September ekspor kita terkoreksi. Oktober, November Desember nanti kalo produksi masih flat, saya menduga ekspor akan terkoreksi sampai akhir tahun, karena kita harus penuhi kebutuhan domestik," katanya.

Di sisi lain, jika ekspor menurun tentu nilai atau value dari produk sawit akan meningkat. "Biasanya memang ada trade off kalo produksi tidak memuaskan tapi value tinggi, kalo melimpah ya harga turun. Itu dinamikanya," katanya.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Impian Terpendam Pengusaha, Ngebet Ada Badan Sawit di Bawah Presiden

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular