DMO Batu Bara Dicabut, RI Gelar "Karpet Merah" ke Para Taipan

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
Rabu, 17/11/2021 16:20 WIB
Foto: Kapal tongkang Batu Bara (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mengubah skema harga penjualan batu bara domestik atau Domestic Market Obligation (DMO).

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, jika DMO dihapus, maka artinya PLN akan membeli batu bara sesuai dengan harga pasar yang harganya jauh lebih tinggi dari harga DMO saat ini yang dipatok maksimal US$ 70 per ton.

Fahmy menyebut, jika DMO dicabut, maka akan berdampak pada ongkos produksi listrik atau Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik hingga dua kali lipat dengan asumsi harga batu bara di pasar dua kali lipat dari patokan harga DMO. Terlebih, saat ini bauran energi Indonesia saat ini masih didominasi dari batu bara.


"Pembelian batu bara dengan harga US$ 153 per metric ton tentunya bisa menaikkan harga pokok penyediaan listrik hingga dua kali lipat di mana harga DMO sebesar US$70 per metric ton," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (17/11/2021).

Jika PLN dipaksa membeli batu bara dengan harga mahal dan tidak menaikkan tarif listrik, artinya PLN menjual listrik jauh di bawah harga keekonomian. Di dalam kondisi ini, imbuhnya, pemerintah harus memberikan kompensasi dari APBN dalam jumlah besar.

"Bahkan bisa lebih dari dua kali lipat (APBN). Namun, jika tariff adjustment diberlakukan, tarif listrik dinaikkan sesuai dengan harga keekonomian, maka beban rakyat, yang baru terpuruk akibat pandemi Covid-19, akan semakin bertambah berat," tegasnya.

Dia mengusulkan, agar tidak membebani APBN dan memberatkan masyarakat sebagai konsumen PLN, skema DMO jangan dihapuskan.

"Kecuali, pemerintah memang mengutamakan kepentingan pengusaha batu bara ketimbang kepentingan rakyat," sindirnya.

Hal senada disampaikan oleh Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute. Dia mengatakan, perubahan ini pasti akan berdampak pada peningkatan BPP listrik.

"Hal tersebut mengingat saat ini sekitar 65-70% produksi listrik kita dari batu bara," ujarnya.

Akan tetapi, kewenangan soal DMO menurutnya memang ada di tangan pemerintah. Mestinya pemerintah juga sudah sangat paham mengenai risikonya.

"Namun kewenangan penuh ada di pemerintah dalam hal ini. Saya kira pemerintah juga sudah sangat paham bagaimana risikonya," lanjutnya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin menjelaskan pemerintah membuka opsi harga batas bawah (floor price) dari saat ini berlaku harga batas atas (ceiling price).

Harga DMO untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) saat ini dipatok maksimal dengan harga US$ 70 per ton, sementara untuk pabrik pupuk dan semen ditetapkan sebesar US$ 90 per ton.

Menurutnya, ada lima permasalahan yang mendorong perubahan DMO ini, salah satunya yaitu tidak semua spesifikasi batu bara yang diproduksi oleh badan usaha pertambangan punya pasar di dalam negeri.

Ridwan mengatakan, Kementerian ESDM memiliki tiga usulan dalam memecahkan masalah ini. Pertama, pembangunan fasilitas pencampuran batu bara (coal blending facility) yang dikelola oleh badan usaha (BUMN/swasta) untuk mengolah berbagai spesifikasi batu bara agar sesuai dengan spesifikasi batu bara yang dibutuhkan di dalam negeri.

"Kedua, skema pengenaan dana kompensasi bagi badan usaha pertambangan yang tidak dapat memenuhi kewajiban DMO, yang selanjutnya dana tersebut digunakan untuk menambah subsidi bagi PLN atau untuk pembangunan coal blending facility," lanjutnya.

Kemudian yang terakhir adalah alternatif pengaturan harga batu bara dalam negeri, terdiri dari penetapan harga batas atas (ceiling price) seperti yang saat ini sudah dilakukan untuk kelistrikan umum, industri semen dan pupuk.

Namun menurutnya ada kendala dalam penerapan skema harga batas atas ini, karena produsen batu bara akan cenderung menghindari berkontrak dengan konsumen batu bara dalam negeri saat harga batu bara domestik jauh lebih rendah. Mereka akan lebih memilih untuk membayar denda.

"Saat harga naik, produsen batu bara berpotensi untuk menghindari berkontrak dengan pengguna batu bara dalam negeri dengan adanya penetapan harga batas atas," tuturnya.

Selanjutnya, opsi penetapan harga batas atas (ceiling price) dan harga batas bawah (floor price).

"Harga batas bawah bertujuan untuk melindungi produsen batu bara agar tetap dapat berproduksi pada tingkat keekonomiannya saat harga batu bara sedang rendah," ungkapnya.

Kemudian, pengaturan skema kontrak penjualan dalam negeri melalui skema kontrak harga tetap (fixed price) dengan besaran harga yang disepakati secara Business to Business (B to B).

"Skema ini akan memberikan kepastian bagi produsen batu bara maupun konsumen batu bara dalam negeri terkait jaminan harga dan volume pasokan," ucapnya.

Salah satu Anggota Komisi VII DPR RI Muhammad Nasir juga turut merongrong agar DMO batu bara ini dicabut. Menurutnya, dalam kondisi seperti ini mestinya PLN mau bersaing untuk bisa mendapatkan pasokan batu bara. Dia berpandangan, dengan semakin gencarnya ekspor akan berdampak baik pada devisa.

Nasir juga mengusulkan agar pajak ekspor bisa dinaikkan karena batu bara saat ini dibutuhkan di luar negeri. Dia mempertanyakan kenapa PLN masih berpatokan pada DMO batu bara yang harganya US$ 70 per ton, sementara harga DMO batu bara untuk pupuk dan semen sebesar US$ 90 per ton.

"Sebenarnya kita tengok BUMN ini sudah pusing di sini, merengek-merengek minta tolong tapi gak berani bersaing. Pupuk sudah naik US$ 90, bapak (PLN) tidak naik-naik, Dirjen udah pusing sekarang. Jadi Pak, kita harus bisa bersaing biarpun BUMN," ungkapnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan PLN dan Ditjen Minerba, Senin (15/11/2021).

Menurutnya, jika kondisi ini dibiarkan, maka perusahaan akan lebih memilih ekspor karena keuntungannya yang didapat lebih besar. Dia berpandangan PLN bisa mati kalau tidak mau bersaing.

"Sekarang di pasar semua persaingan, harap DMO nonsense, mendingan mereka bayar denda gak mau naikin? semen pupuk naik Bapak (PLN) gak naik-naik," tegasnya.


(wia)
Saksikan video di bawah ini:

Video: PLTU Bertambah, Energi Terbarukan Tetap Jadi Prioritas