
Fakta-fakta Yellen Warning AS Terancam Default & Resesi

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen memperkirakan negara tersebut bakal kesulitan membayar utangnya setelah 15 Desember 2021. Hal ini Yellen sampaikan dalam surat terbarunya ke DPR AS yang dikuasai partai pendukung Joe Biden, Demokrat.
Dia mendesak tindakan cepat kembali diambil untuk menaikkan batas pinjaman pemerintah federal. Ini merupakan kelanjutan kegusaran Yellen sebulan lalu ketika Kongres mengesahkan kenaikan plafon utang sementara pada awal Oktober dan terbatas membiayai beberapa hal saja.
Dalam suratnya, Yellen mengatakan sumber daya yang tersedia tidak mencukupi untuk membiayai operasi pemerintah AS di luar tanggal tersebut. Ia mendesak kongres menaikkan atau menangguhkan aturan yang membatasi utang pemerintah sesegera mungkin.
Pengesahan rencana infrastruktur senilai US$1 triliun (setara Rp 14.230 triliun, asumsi Rp 14.200/US$) Biden awal pekan ini menjadi salah satu penyebab. Kemarin Biden menandatangani UU Investasi Infrastruktur dan Pekerjaan, yang mengalokasikan US$ 118 miliar untuk Dana Perwalian Jalan Raya.
"Dana ini harus ditransfer ke Dana Perwalian Jalan Raya dalam waktu satu bulan setelah berlakunya undang-undang, dan transfer akan selesai pada 15 Desember," tulisnya ke Ktua DPR Demokrat Nancy Pelosi, dikutip dari CNBCInternational.
"Ada skenario di mana Departemen Keuangan akan dibiarkan dengan sumber daya yang tersisa tidak mencukupi untuk terus membiayai operasi pemerintah AS di luar tanggal ini."
"Untuk memastikan kepercayaan penuh dan kredit dari Amerika Serikat, sangat penting bahwa Kongres menaikkan atau menangguhkan batas utang sesegera mungkin," tambahnya.
Lalu apa efek dan penyebabnya "ramalan berbahaya" Yellen ini?
Yellen menekankan, jika anggota parlemen gagal melakukannya sebelum tanggal yang disebut, pemerintah AS akan default untuk pertama kalinya. Tentu default ini akan menyebabkan resesi dan membahayakan peran dolar AS sebagai mata uang cadangan dunia.
Mengutip catatan tim riset CNBC Indonesia, sebenarnya, karena kejadian ini belum pernah terjadi sebelumnya sepanjang sejarah AS, tidak ada yang benar-benar tahu persis konsekuensi yang akan timbul. Tetapi kemungkinan pasar di seluruh dunia akan jatuh dan suku bunga global akan naik.
Ini karena jika pemerintah AS tidak dapat membayar kembali utangnya kepada pemegang obligasi, nilai obligasi akan menurun. Dan yield - pengembalian yang dibayarkan pemerintah kepada investor - akan meningkat, karena obligasi tersebut dianggap sebagai investasi yang kurang aman.
Hal tersebut akan mendorong kenaikan suku bunga di seluruh dunia, yang sering terikat dengan surat utang AS (bills, notes dan bonds). Lebih jauh lagi, dampak kepada kreditur besar bisa lebih mengerikan.
Misalnya Jepang yang hingga awal tahun ini memiliki sekitar US$ 1,31 triliun surat utang AS - yang setara dengan seperempat dari output ekonomi tahunannya - tentu akan membahayakan ekonomi negeri sakura. Setelah Jepang yang merupakan pemegang terbesar, terdapat China senilai US$ 1,06 triliun.
Meskipun Jepang dan China memiliki surat utang AS dalam jumlah signifikan, akan tetapi sebagian besar utang AS diperoleh dari dana jaminan sosial (social security) dan dana pensiun. Ini berarti warga AS, melalui uang pensiun mereka, memiliki sebagian besar utang nasional.
Hal ini menjadikan ancaman terbesar terhadap risiko gagal bayar akan dirasakan di dalam negeri AS dulu sebelum menjalar ke luar negeri. Selain itu konsensus di antara para analis percaya bahwa kegagalan Washington untuk melakukan pembayaran bunga atas utangnya akan melemahkan pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19 dan mungkin menimbulkan 'cacat' permanen pada kedudukan internasional Amerika Serikat.
(tfa/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Janet Yellen: Default Utang AS Rp400.000 T Bisa Picu Resesi!