Internasional

'Helikopter Duit' Biden Rp 14.000 T Cair, RI Kecipratan?

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
Rabu, 17/11/2021 07:08 WIB
Foto: Joe Biden (AP/Peter Klaunzer)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rancangan undang-undang (RUU) infrastruktur senilai US$ 1 triliun (setara Rp 14.230 triliun, asumsi Rp 14.200/US$) resmi ditandatangani presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dalam upacara Gedung Putih, Senin (15/11/2021).

RUU yang kini menjadi UU tersebut akan menyediakan pendanaan untuk perbaikan infrastruktur. Mulai dari jalan, jembatan, pelabuhan, transit kereta api, air bersih, jaringan listrik hingga internet pita lebar (broadband).


Secara rinci, ada sekitar US$ 240 miliar (Rp 3.416 triliun) untuk membangun atau memperbaiki jalan, jembatan, angkutan umum, bandara dan kereta api. Lebih dari US$ 150 miliar (Rp 2.135 triliun) direncanakan untuk proyek-proyek yang menangani perubahan iklim.

Sisanya termasuk pendanaan lain seperti keamanan siber, sistem pengolahan air bersih dan limbah dan koneksi internet broadband. Ada US$ 65 miliar (Rp 925 triliun) untuk meningkatkan infrastruktur dan US$ 21 miliar (Rp 298 triliun) untuk membersihkan situs yang tercemar dan terkontaminasi serta mereklamasi lahan tambang dan sumur gas yang ditinggalkan.

Meski tidak secara langsung, 'helikopter uang' Biden ini dapat memberi dampak positif bagi perekonomian nasional. Tim riset CNBC menulis ini bisa tersalurkan ke proyek-proyek untuk memerangi perubahan iklim termasuk di dalamnya investasi dalam kendaraan listrik dan baterai.

Indonesia sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar dan juga merupakan produsen nomor satu di dunia tentu akan diuntungkan dari kebijakan tersebut. Selain itu Indonesia yang juga merupakan salah satu produsen utama tembaga dapat memperoleh manfaat ekonom akibat baiknya permintaan tembaga, mengingat kebutuhan yang relatif besar dalam infrastruktur energi terbarukan.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara membenarkan jika UU infrastruktur di AS akan mendorong permintaan berbagai jenis bahan baku konstruksi dan teknologi dari banyak sumber.

"Misalnya nikel dan produk olahannya yang akan dilirik sebagai raw material penting untuk proyek EBT di berbagai tempat di AS. Begitu juga dengan kebutuhan besi baja, aluminium dan tembaga untuk konstruksi jalan, jembatan dan mega proyek lainnya," katanya kepada CNBC Indonesia.

Meski begitu, Bhima mengatakan pemerintah AS nantinya akan sangat memperhatikan aspek lingkungan dalam rantai pasok bahan material untuk konstruksi.

"Jadi bukan soal harga nikel Indonesia bisa bersaing di pasar internasional, atau pasokan berlimpah tapi juga skor ESG-nya (environmental, social dan governance) harus masuk kriteria pengadaan barang di AS," jelasnya.

Sebagai informasi, lebih dari setengah dana yang diajukan dalam UU tersebut merupakan bagian dari dana yang sudah dianggarkan untuk dibelanjakan oleh pemerintah AS dalam lima hingga delapan tahun ke depan.

Secara rata-rata UU Infrastruktur tersebut menyediakan sekitar US$ 70 miliar (Rp 996 triliun) dalam pendanaan baru setiap tahunnya atau sekitar 0,4% dari total PDB AS yang mencapai US$ 20 triliun (Rp 284.691 triliun). Angka tersebut juga sekitar 1,02% dari APBN AS tahun 2021 yang angkanya mencapai US$ 6,82 triliun (Rp 97.079 triliun).


(tfa/sef)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Konflik Iran-Israel Memanas, Dunia Soroti Manuver Trump