
PLN Wajib Beli Listrik EBT, Cuma Untungkan Pengembang?

Jakarta, CNBC Indonesia - PT PLN (Persero) bakal diwajibkan untuk membeli listrik yang bersumber dari Energi Baru Terbarukan (EBT). Aturan ini menjadi salah satu substansi dalam Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) mengenai tarif pembelian tenaga listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) oleh PLN.
Salah satu sumber energi yang didorong oleh pemerintah untuk mencapai bauran energi adalah energi surya, melalui Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Namun sayangnya, sebagian besar komponen masih dipenuhi dari impor.
Menanggapi hal ini, Mantan Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Tumiran mengatakan, dalam hal ini yang akan diuntungkan adalah pihak pengembang dan juga importir EBT.
"Yang diuntungkan pengembang sama mungkin importir EBT, harusnya bikin kebijakan industri tumbuhkan lapangan kerja," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (03/11/2021).
Selain meningkatkan lapangan kerja, menurutnya pengembangan EBT seharusnya juga bisa mendorong teknologi di dalam negeri berkembang. Bila mendorong EBT, tapi komponennya masih dipenuhi dari impor, maka menurutnya ini hanya menyenangkan pihak-pihak lain saja.
"Teknologi berkembang dalam negeri, sama temen-temen yang mau kembangkan EBT sekarang dorong industri tumbuh," lanjutnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, mendorong EBT dengan produk impor hanya akan memfasilitasi importir. Kemudian, Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik PLN juga akan naik, terutama ketika harga listrik EBT masih mahal. Imbasnya, negara masih harus memberikan kompensasi.
Dia menjelaskan, BPP listrik PLN akan meningkat ketika pasokan listrik yang ada saat ini masih berlebih dan PLN juga memiliki kewajiban take or pay (TOP) pada kontrak listrik PLTU batu bara, sementara pembangkit EBT tetap dipaksakan harus masuk. Skema TOP PLTU batu bara yakni aturan di dalam kontrak jual beli listrik di mana PLN harus mengambil listrik dari pengembang sesuai jumlah terkontrak. Bila tidak sesuai atau kurang dari jumlah terkontrak, maka PLN akan dikenakan denda. Jadi, baik kondisi pasokan listrik berlebih atau tidak, PLN harus tetap mengambil listrik dari pengembang swasta ini atau dikenakan denda.
"Ngapain memfasilitasi impor, kemudian BPP naik, dikompensasi negara. Skema gak sesederhana kompensasi, kejar EBT yang perlu digerakkan adalah hilirnya," tutur ahli kelistrikan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Perlu diketahui, mayoritas solar panel di dunia adalah buatan China, di mana sekitar 70%-80% solar panel adalah pabrikan China.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov mengatakan, pasokan kelistrikan RI saat ini dalam kondisi surplus alias kelebihan pasokan.
Mendorong pemanfaatan PLTS artinya akan ada konsekuensi yang harus ditanggung PT PLN (Persero) selaku operator kelistrikan di negeri ini.
"Pihak swasta yang diuntungkan karena sama-sama tahu dominasi impor. Jadi untuk kondisi saat ini industri komponen PLTS Atap masih minim, yang diuntungkan industri di luar negeri, khususnya China, yang suplai khususnya modul dan baterai untuk produk PLTS," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Senin (01/11/2021).
Komponen PLTS yang masih banyak disuplai dari impor menurutnya adalah modul dan baterai. Karena sebagian besar komponen PLTS masih diimpor, dia pun menyarankan agar pemerintah mendorong industri komponen di dalam negeri dibangun terlebih dahulu sebelum menggencarkan PLTS.
"Kencangkan dulu di dalam negeri, saat penggunaan PLTS masih sesuai RUPTL komponen ini bersumber dari dalam negeri," ujarnya.
Lebih lanjut Abra mengatakan, dengan mendorong industri komponen di dalam negeri, maka akan berdampak pada peningkatan nilai tambah industri. Menurutnya, industri mineral akan semakin termanfaatkan jika pabrik panel surya ini dibangun di dalam negeri.
"Sudah terbentuk BUMN baterai itu kan juga jadi backbone dorong pengembangan PLTS di dalam negeri, karena masih adanya sifat intermittent," tuturnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Listrik EBT Lebih Mahal, Pemerintah Rela Nombokin!