Batu Bara Rontok, Kas Negara Tak Lagi Diisi 'Durian Runtuh'
Jakarta, CNBC Indonesia - Komoditas batu bara alami penurunan harga secara tajam sejak dua pekan terakhir. Padahal sebelumnya komoditas ini disebut 'durian runtuh' bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus melihat perkembangan harga komoditas tersebut serta seberapa jauh pengaruhnya terhadap APBN.
"Kita sedang pantau," ungkap Direktur Jenderal Anggaran Isa Rachmatarwata kepada CNBC Indonesia, Senin (1/11/2021)
Akhir pekan lalu, harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) tercatat US$ 154,9/ton. Ambles 10,12% dari hari sebelumnya.
Secara mingguan, harga komoditas ini ambrol 18.9%. Seminggu sebelumnya, harga rontok 20,86%.
Harga batu bara memang berpengaruh besar terhadap APBN. Di samping juga minyak dan gas bumi serta nikel, tembaga dan yang lainnya.
"Sensitivitas APBN terhadap komoditas memang tinggi, terutama dari sisi penerimaan pajak dan non-pajak (PNBP). Hal ini positif bagi postur fiskal dalam jangka pendek," ungkap Economist & Fixed-income Research Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro kepada CNBC Indonesia.
"Sekitar 50-80% PNBP kita berasal dari penerimaan sektor migas, sedangkan 30% industri ekspor kita berasal dari komoditas seperti batubara, kelapa sawit, dan nikel," jelasnya.
Hingga akhir September 2021, total penerimaan negara adalah Rp 1.354,8 triliun atau tumbuh 16,8%. Penerimaan alami peningkatan dengan realisasi pajak tumbuh 13,2% menjadi Rp 850,1 triliun (69,1%), bea cukai tumbuh 29% menjadi Rp 182,9 triliun (85,1%) dan PNBP tumbuh 22,5% menjadi Rp 320,8 triliun (107,6%).
Besarnya penerimaan negara tidak terlepas lonjakan harga komoditas. Ini mempengaruhi penerimaan pajak, bea keluar hingga PNBP. Pajak misalnya, pada Januari-September 2021 melonjak 38,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Jauh membaik ketimbang sembilan pertama 2020 yang ambles 42,7% yoy.
Sementara pada kuartal III-2021, penerimaan pajak dari sektor pertambangan melesat 317,6% yoy. Jauh membaik dibandingkan kuartal sebelumnya yang terkontraksi (tumbuh negatif) 18% yoy.
Bea keluar (BK) di mana realisasinya mencapai Rp 22,56 triliun atau tumbuh 910,6% yang merupakan terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Besar ini dipengaruhi oleh komoditas ekspor minyak kelapa sawit, batu bara dan lainnya.
Pos Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga catatkan pertumbuhan tinggi. Di mana dalam sembilan ini saja PNBP sudah terealisasi 107,6% atau melewati target APBN menjadi Rp 320,8 triliun.
SDA Migas mencapai pertumbuhan 16,4% menjadi 82,7% dari target Rp 75 triliun. Dipengaruhi oleh kenaikan ICP dalam 10 bulan terakhir yang sebesarUS$ 62,55 per barel atau di atas rata-rata asumsi APBN.
PNBP non migas tumbuh 78,3% menjadi 119,8% dari target Rp 29,1 triliun. Ditopang oleh kenaikan harga batu bara, emas, perak, tembaga, timah dan nikel. HBA dalam periode tersebut mencapai US$ 102,3/ton.
Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah, menyebutkan penerimaan negara memang tidak akan setinggi biasanya, efek dari penurunan harga batu bara. Akan tetapi masih ada komoditas lain dengan harga selangit, seperti nikel, tembaga dan tentunya migas.
"Turunnya harga batubara menurut saya sudah diperkirakan dan dampaknya sudah minimal terhadap penerimaan APBN tahun ini. Selain Itu penurunan ini diperkirakan tidak akan berkelanjutan," ujar Piter kepada CNBC Indonesia.
(mij/mij)