Pesta 'Durian Runtuh' dari Bom Komoditas, RI Bebas Utang?

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
29 October 2021 13:35
Infografis: Gegara Utang, RI Masuk Daftar Negara Paling Berisiko 'Remuk'
Foto: Infografis/Gegara Utang, RI Masuk Daftar Negara Paling Berisiko 'Remuk'/Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Posisi utang Indonesia sepanjang 2021 terus merangkak naik dari bulan ke bulan. Posisi utang Indonesia terakhir pada bulan September sudah mencapai 41,38% terhadap PDB, naik dari posisi di awal tahun 40,28% terhadap PDB.

Jumlah utang Pemerintah per akhir September 2021 sebesar Rp 6.711,52 triliun, naik tajam dibandingkan dengan posisi September 2020 yakni Rp 954,65 triliun. Di mana pada tahun lalu di periode yang sama utang berada di level Rp 5.756,87 triliun dengan rasio 36,41% terhadap PDB.

Walaupun sudah berada di batas aman acuan IMF untuk rasio utang terhadap PDB, yaitu 25%-30% saat kondisi normal, dalam laporannya Kementerian Keuangan memastikan komposisi utang masih aman dan tetap terjaga.

Utang suatu negara diperlukan untuk berbagai alasan, salah satu yang penting adalah menutup defisit antara penerimaan dan pengeluaran.

Posisi defisit anggaran per September 2021 sebesar Rp 452 triliun atau sebesar 2,74% terhadap PDB. Jumlah defisit didapat dari belanja negara yang lebih besar dibanding pendapatan yang didapat.

Realisasi pendapatan negara tercatat Rp 1.354,8 triliun dan realisasi belanja negara sebesar Rp 1.806,8 triliun.

Walaupun realisasi anggaran masih defisit, namun faktanya angka ini turun jauh dari posisi September 2020 sebesar Rp 681,4 triliun atau 4,41% PDB. Ini karena realisasi pendapatan negara yang tumbuh 16,79% sepanjang Januari-September 2021 dibanding dengan periode yang sama tahun lalu.

Indonesia diuntungkan dengan kenaikan harga komoditas global yang jadi pendorong pertumbuhan realisasi pendapatan tanah air.

Peran komoditas sangat vital terhadap tiga pilar penerimaan Indonesia yaitu perpajakan, bea cukai, dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) saat ini. Menyebabkan APBN kita sangat sensitif terhadap gejolak harga komoditas.

Realisasi penerimaan negara dari pajak sebesar Rp 850,06 triliun atau tumbuh 13,25% year-on-year (yoy). Secara sektoral, kenaikan tertinggi terjadi di sektor pertambangan. Dimana penerimaan pajak dari sektor ini meningkat hingga 317,6% di akhir September 2021.

Sementara itu penerimaan dari kepabeanan dan Cukai sebesar Rp 182,92 triliun atau tumbuh 28,98%. Kenaikan ini ditopang oleh penerimaan Bea Keluar yang tumbuh hingga 910,6%. Kenaikan begitu tajam ini didorong oleh peningkatan ekspor komoditi tembaga dan tingginya harga produk kelapa sawit.

Realisasi penerimaan dari PNBP sebesar Rp 320,84 triliun atau tumbuh 22,53% serta hibah Rp 1,01 triliun. Realisasi PNBP sudah melebihi target APBN sebesar Rp 296,20 triliun, setara 107,59% dari taget. Penerimaan dari PNBP juga sudah melebih target APBN 2021 ditopang oleh pendapatan Sumber Daya Alam (SDA) Migas tumbuh 16,4% dan Nonmigas yang tumbuh 78,3%.

Kemudian, pertanyaan yang muncul akankah Indonesia akan bebas utang?

Jawabannya tentu saja tidak

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 diperkirakan masih akan mengalami defisit hingga Rp 868 triliun atau 4,85% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini akan menjadi tambahan dari nominal utang Indonesia yang kini mencapai sekitar Rp 6000 triliun.

Akan tetapi, seiring dengan meningkatnya penerimaan, penarikan utang bisa dikurangi. Seperti tahun ini. Defisit tahun ini diperkirakan lebih rendah, yaitu 5,59% dari yang sebelumnya diasumsikan 5,7%.

"Seiring pemulihan, defisit fiskal juga terus turun dari 2020 sebesar 6,14% (realisasi 2020), menjadi 5,59% (APBN 2021)," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu.

"Sensitivitas APBN terhadap komoditas memang tinggi, terutama dari sisi penerimaan pajak dan non-pajak (PNBP). Hal ini positif bagi postur fiskal dalam jangka pendek," ungkap Economist & Fixed-income Research Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro kepada CNBC Indonesia.

Setidaknya sebagian dari PNBP ditopang oleh sektor migas. Kemudian ada 30% industri ekspor juga dipengaruhi oleh harga komoditas batu bara minyak kelapa sawit dan nikel.

Indonesia tidak bisa terus-menerus mengandalkan komoditas. Ini karena kenaikan harga komoditas saat ini bersifat temporer dan tidak akan terjadi seterusnya. Dalam waktu dekat setdaknya akan ada pengurangan stimulus moneter seperti Amerika Serikat dan Eropa bisa menurunkan harga komoditas ke depannya.

"Ketika normalisasi stimulus moneter menurunkan harga komoditas global, APBN dan keseimbangan eksternal kita bisa dalam tekanan lagi," ujarnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berpandangan kondisi kenaikan harga komoditas bisa terjadi sampai awal 2022. Sementara selanjutnya, banyak faktor yang turut mempengaruhi pergerakan harga komoditas.

"Boom harga komoditas mulai terlihat pada kuartal III. Sepertinya akan bertahan sampai awal tahun depan," pungkasnya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular