RI 'Nyayur' Ratusan Triliun, Utang Beneran Lunas di 2022?

Redaksi, CNBC Indonesia
29 October 2021 08:15
Infografis/ Ini Daftar Daerah di RI Penyimpan Harta Karun Nikel Terbesar/ Aristya Rahadian
Foto: Infografis/ Ini Daftar Daerah di RI Penyimpan Harta Karun Nikel Terbesar

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Keuangan mencatat penerimaan negara hingga akhir September mencapai Rp 1.354,83 triliun. Realisasi ini tumbuh 16,8% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (yoy).

Naiknya penerimaan negara ini ditopang oleh penerimaan pajak dari sektor pertambangan hingga perkebunan serta penerimaan bea keluar yang didorong oleh kenaikan sejumlah harga komoditas.

Secara rinci, penerimaan negara ini terdiri dari pajak sebesar Rp 850,06 triliun atau tumbuh 13,25% (yoy), Kepabeanan dan Cukai sebesar Rp 182,92 triliun atau tumbuh 28,98% dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 320,84 triliun atau tumbuh 22,53% serta hibah Rp 1,01 triliun.

doc kemenkeuFoto: doc kemenkeu
doc kemenkeu

Untuk penerimaan pajak secara sektoral, kenaikan tertinggi terjadi di sektor pertambangan. Dimana penerimaan pajak dari sektor ini meningkat hingga 317,6% di akhir September 2021. Hal ini didorong oleh permintaan global dan meningkatnya harga komoditas tambang.

Kemudian, kenaikan tertinggi kedua adalah penerimaan pajak dari sektor perdagangan. Penerimaannya tumbuh 40,4% yang ditopang juga oleh pulihnya permintaan global dan domestik sehingga mendorong peningkatan produksi, konsumsi, ekspor dan impor.

Untuk penerimaan dari Bea dan Cukai ditopang oleh penerimaan Bea Keluar yang tumbuh hingga 910,6%. Kenaikan begitu tajam ini didorong oleh peningkatan ekspor komoditi tembaga dan tingginya harga produk kelapa sawit.

doc kemenkeuFoto: doc kemenkeu
doc kemenkeu

Seperti diketahui, terjadi boom komoditas yang berdampak pada kenaikan harga CPO karena ketatnya persedian. Kemudian, harga logam dasar juga meroket akibat krisis energi dan kebijakan dekarbonasi.

Sementara itu, penerimaan dari PNBP juga sudah melebih target APBN 2021 ditopang oleh pendapatan Sumber Daya Alam (SDA) Migas tumbuh 16,4% dan Nonmigas yang tumbuh 78,3%.

Untuk penerimaan SDA migas kenaikannya terutama disebabkan oleh kenaikan ICP sejak awal tahun. Sedangkan SDA non migas tumbuh ditopang oleh kenaikan harga komoditas pertambangan seperti batu bara, emas, perak, tembaga, timah dan nikel.

doc kemenkeuFoto: doc kemenkeu
doc kemenkeu

Selain pertambangan, kenaikan penerimaan SDA non migas juga didukung oleh sektor kehutanan dan panas bumi. Dimana produksi kayu, penggunaan area kawasan hutan hingga pembayaran piutang PNBP penggunaan kawasan hutan mengalami peningkatan tajam.

Faktor-faktor ini lah yang menopang penerimaan negara tumbuh double digit hingga 16,8% per September 2021 atau sudah mencapai 77,7% dari total target penerimaan negara di APBN 2021.

Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah per akhir September 2021 sebesar Rp 6.711,52 triliun. Utang ini setara dengan 41,38% Produk Domestik Bruto (PDB).

Jika dibandingkan dengan posisi September 2020, utang ini meningkat tajam yakni Rp 954,65 triliun. Di mana pada tahun lalu di periode yang sama utang berada di level Rp 5.756,87 triliun dengan rasio 36,41% terhadap PDB.

Meski demikian, dalam laporannya Kementerian Keuangan memastikan komposisi utang masih aman dan tetap terjaga.

"Pengelolaan utang dilaksanakan secara oportunistik, fleksibel dan prudent di masa pandemi," tulis Kemenkeu dalam Laporannya yang dikutip, Kamis (28/10/2021).

Dilihat dari kepemilikannya, utang pemerintah masih tetap didominasi dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dengan porsi 88% dan pinjaman 12%.

Secara rinci, utang yang berasal dari SBN tercatat sebesar Rp 5.887,67 triliun yang terdiri dari SBN domestik Rp 4.606,79 triliun dan SBN valas Rp 1.280,88 triliun. Keduanya terbagi dari SBN umum dan SBN syariah.

Kemudian utang dari pinjaman baik dalam dan luar negeri tercatat Rp 823,85 triliun. Terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 12,52 triliun dan luar negeri Rp 811,33 triliun.

Utang pinjaman luar negeri ini berasal dari pinjaman bilateral Rp 306,18 triliun, multilateral Rp 463,67 triliun dan pinjaman dari commercial banks Rp 41,48 triliun.

Hal ini kemudian menjadi banyak pertanyaan, akankah RI tahun depan bebas utang? Jawabannya jelas sekali tidak.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 diperkirakan masih akan mengalami defisit hingga Rp 868 triliun atau 4,85% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini akan menjadi tambahan dari nominal utang Indonesia yang kini mencapai sekitar Rp 6000 triliun.

Akan tetapi, seiring dengan meningkatnya penerimaan, penarikan utang bisa dikurangi. Seperti tahun ini. Defisit tahun ini diperkirakan lebih rendah, yaitu 5,59% dari yang sebelumnya diasumsikan 5,7%.

"Seiring pemulihan, defisit fiskal juga terus turun dari 2020 sebesar 6,14% (realisasi 2020), menjadi 5,59% (APBN 2021)," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu.

Hingga September 2021, defisit anggaran mencapai Rp 452 triliun atau 2,74% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara keseimbangan primer Rp 198,3 triliun.

Di mana belanja negara pada September 2021 alami penurunan sebesar 1,9% (year on year/yoy) menjadi Rp 1.806,8 triliun atau 65,7% dari pagu APBN. Meliputi belanja pemerintah pusat mencapai Rp 1.265,3 triliun dengan KL sebesar Rp 734 triliun dan non KL Rp 531 triliun. Selanjutnya ada TKDD dengan Rp 541,5 triliun atau turun 14%

"Sensitivitas APBN terhadap komoditas memang tinggi, terutama dari sisi penerimaan pajak dan non-pajak (PNBP). Hal ini positif bagi postur fiskal dalam jangka pendek," ungkap Economist & Fixed-income Research Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro kepada CNBC Indonesia.

Setidaknya sebagian dari PNBP ditopang oleh sektor migas. Kemudian ada 30% industri ekspor juga dipengaruhi oleh harga komoditas batu bara minyak kelapa sawit dan nikel.

Hanya saja, pemerintah tidak boleh lengah. Sebab kemungkinan perubahan ekonomi global yang dimotori oleh negara maju lewat normalisasi stimulus moneter seperti Amerika Serikat dan Eropa bisa menurunkan harga komoditas ke depannya.

"Ketika normalisasi stimulus moneter menurunkan harga komoditas global, APBN dan keseimbangan eksternal kita bisa dalam tekanan lagi," ujarnya.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Total Utang Pemerintah Capai Rp 6.527 Triliun!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular