Mimpi PLN: Gak Ada Dilema PLTU Murah Tapi Kotor vs EBT Mahal

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
Jumat, 22/10/2021 11:55 WIB
Foto: PT Indonesia Power melalui Unit Pembangkitan (UP) Suralaya menegaskan jika Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) ini tidak menyumbang polusi untuk Jakarta. (CNBC Indonesia/Nia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Wakil Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Darmawan Prasodjo mengungkapkan, saat ini pihaknya dihadapkan pada dilema pemilihan sumber energi.

Dilema yang dimaksud Darmawan adalah harus memilih energi murah tapi menggunakan bahan bakar fosil seperti batu bara, sehingga menimbulkan emisi karbon dan tercemarnya udara, atau menggunakan energi baru terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan, tapi harus mengeluarkan biaya lebih tinggi.

Dilema ini menurutnya seharusnya bisa diselesaikan dengan cara berinovasi.


"Harapan kita, dilema ini tidak ada lagi. Karena ada Undang-Undang BUMN, di situ disebutkan PLN dapat penugasan dan kalau ada selisih penugasan, ditanggung negara," ujar Darmawan dalam sebuah webinar bertajuk 'Energi Terbarukan: Sudut Pandang, Supply-Demand Keterjangkauan Tarif, dan Keandalan Pasokan', dikutip Jumat (22/10/2021).

"Untuk itu, ke depannya bahwa dilema ini harus diselesaikan dengan berinovasi," lanjutnya.

Kendati demikian, menurutnya optimalisasi sumber energi terbarukan menjadi tenaga listrik masih terkendala teknologi penyimpanan lewat baterai. Pasalnya, belum semua pembangkit listrik dari energi terbarukan bisa beroperasi selama 24 jam.

Oleh karena itu, pasokan dari jenis energi lain atau penyimpanan daya listrik (baterai) diperlukan. Selain itu, penggunaan pembangkit listrik berbasis EBT juga harus dikombinasikan dengan pembangkit listrik lainnya, seperti PLTU batu bara.

Darmawan mencontohkan, jika Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) beroperasi antara pukul 10.00 pagi hingga 14.00 siang, maka harus dikombinasikan dengan pembangkit listrik lain seperti PLTU berbasis batu bara.

"Artinya, ada 24 Wega Watt hour beroperasi di situ. Kalau beroperasi hanya 5 jam, sisanya pake apa? Kalau semuanya EBT, sistemnya harus dibesarkan. Sebesar 24 Mega Watt (hour) per hari, untuk 1 mega saja, 4-5 meganya direct dari PLTS disalurkan ke sistem, 19-20 mega harus lewat baterai diisi dalam waktu 4-5 jam," jelasnya.

"Coba bayangkan kalau sistemnya itu 1 Giga, butuh PLTS 5.000 Mega Watt, baterainya 20 Giga Watt hour. Saat ini apa mungkin dibangun? Mungkin. Tapi cost-nya saat ini dari baterai storage system masih sekitar 13 sen per kilo Watt hour (kWh)," ujarnya lagi.

Apabila ada teknologi baterai baru dan biayanya lebih rendah, hal itu akan membantu. Meski pembangkit listrik dialihkan ke energi terbarukan, permintaan konsumen terhadap listrik tetap dan mungkin malah naik.

Kendati demikian, kata Darmawan PLN berkomitmen untuk bisa mewujudkan target negara menuju energi bebas karbon pada 2060.

"Kunci bangun EBT adalah inovasi dan bisa bertarung superior dari teknis dan ekonomis. PLN fully committed (berkomitmen penuh) membangun itu. Jangka panjang finish line bangun carbon neutral di 2060," jelasnya.

Pada kesempatan terpisah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengungkapkan dalam rangka substitusi dari dipensiunkannya pembangkit berbasis fosil, serta peningkatan kebutuhan listrik, maka penambahan pembangkit listrik dimulai pada 2030 seluruhnya berasal dari pembangkit EBT terutama PLTS.

Dia menyebut, pada 2060 pemerintah memproyeksikan total kapasitas pembangkit listrik ditargetkan mencapai 635 Giga Watt (GW) yang berasal dari pembangkit berbasis energi baru terbarukan.


(wia)
Saksikan video di bawah ini:

Video: PLTU Bertambah, Energi Terbarukan Tetap Jadi Prioritas