Waspada! Drama Krisis Evergrande Masih Jauh dari Kata Usai

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
10 October 2021 19:15
CHINA EVERGRANDE-DEBT/CONTAGION
Foto: REUTERS/TYRONE SIU

Jakarta, CNBC Indonesia - Investor obligasi Evergande Group khawatir gagal bayar (default) utang raksasa properti tersebut kian nyata. Imbal hasil obligasi perseroan melesat 500%, yang menunjukkan aksi jual besar-besaran, di tengah munculnya perusahaan dengan kasus serupa.

Evergrande saat ini dibelit utang dahsyat dengan nilai US$ 300 miliar, dan telah terlambat melunasi obligasi dalam dolar AS senilai total US$ 131 juta yang jatuh tempo pada 23 September dan 29 September.

Kini perseroan berada di masa tenggat selama 30 hari untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran bunga utangnya tersebut dan belum memberikan kejelasan mengenai pembayaran kewajiban utang kepada pemegang obligasi di luar negeri.

qSumber: Refinitiv

"Kami semua merasa gagal bayar dalam waktu dekat atas kewajiban obligasi offshore [diterbitkan di luar negeri] akan dan sedang terjadi dalam waktu dekat," tutur Bert Grisel, Direktur Pelaksana Moelis & Co, seperti dikutip Reuters.

Moelis merupakan penasihat para investor obligasi Evergrande di luar negeri, yang sedang memperjuangkan haknya. Bersama Kirkland & Ellis, dia mewakili pemegang obligasi Evergrande bernilai total US$ 5 miliar.

Pekan depan, perseroanĀ harus membayar kewajiban obligasi tambahan senilai US$ 150 juta. Namun menurut Moelis, belum ada komunikasi maupun iktikad baik dari pihak Evergrande untuk berdialog menyelesaikan persoalan utang tersebut.

Sejauh ini, Evergrande telah menyatakan akan menjual sahamnya senilai US$ 1,5 miliar di Shengjing Bank Co. Ltd. Namun, bank tersebut sudah menagih hasil penjualan saham tersebut untuk membayar kredit yang dikucurkan Shengjing kepada raksasa properti tersebut. Para investor pemegang obligasi perseroan pun gigit jari.

Belum selesai persoalan Evergrande, pada Jumat (8/10/2021), otoritas bursa setempat alias Shanghai Stock Exchange menghentikan sementara perdagangan dua obligasi perusahaan properti yakni Fantasia Group China Co dan Holdings Group.

Harga obligasi Fantasi anjlok hingga lebih dari 50% setelah pemegang saham pengendalinya melawati batas waktu pembayaran kewajiban utang obligasinya senilai US$ 206 juta yang semestinya dibayarkan pada Senin.

Dalam keterbukaan informasi, Fantasia Holding pada Jumat kemarin mengatakan bahwa perseroan telah menunjuk Houlihan Lokey dan Sidley Austin sebagai penasihat keuangannya, untuk mencari jalan keluar dengan mengecek struktur permodalan dan likuiditasnya.

Kini, nasib Evergrande dan Fantasia berada di satu keranjang yang sama, yakni berpotensi gagal bayar. Harga obligasi mereka pun telah anjlok hingga 80% dari nilainya.

Selain Fantasia, saham raksasa properti lain, yakni Greenland Holdings yang merupakan kontraktor menara hunian tertinggi di Sydney, London, New York hingga Los Angeles juga tertekan karena dikhawatirkan menghadapi problem likuiditas yang sama.

Greenland saat ini bernasib sama dengan Evergrande, yakni melanggar tiga ketentuan yang digariskan pemerintah China, terkait keamanan rasio solvabilitasnya (kemampuan membayar kewajiban utangnya). Utang bersih perseroan lebih tinggi dari posisi ekuitasnya.

Pemerintah China pun kini menghadapi dilema, antara turun tangan menyehatkan Evergrande dkk ataukah membiarkan manajemen mengambil cara business to business untuk mengatasi persoalannya.

Jika pemerintah turun tangan, maka muncul stigma seburuk apapun pengelolaan utang perusahaan di China, pemerintah akan pasang badan juga. Lalu, bakal ada gelombang 'Evergrande' lainnya yang ikut mendeklarasikan diri gagal bayar karena pandemi.

Di masa lalu, pemerintah China pernah membantu perusahaan yang terbelit utang, seperti Kaisa pada 2014 di mana pemerintah melonggarkan penjualan properti mereka yang semula dibekukan karena dugaan korupsi. Kebijakan demikian membuat perusahaan properti di atas angin.

"Pelaku pasar mempertanyakan apalah ini menjadi awal gagal bayar sukarela oleh pengembang lain yang memiliki posisi likuiditas jangka pendek sehat, tetapi memikul utang jangka panjang besar dan tak berkelanjutan," tutur perencana kredit dan Forex DBS Bank Chang Wei Liang, dalam laporan risetnya.

Namun jika pemerintah China menunggu penyelesaian dalam koridor bisnis, maka tak ada jaminan persoalan akan terselesaikan secara cepat, dan tak ada jaminan bahwa efek domino terburuk (ambruknya pasar keuangan China) bakal terhindarkan.

Ini sejalan dengan proyeksi bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia) yang baru dirilis Jumat kemarin, dengan menilai bahwa tindakan terlalu cepat mengatasi kerentanan tersebut (dengan intervensi) bisa membuat kepercayaan pasar akan jaminan implisit yang memperkuat sistem keuangan China akan terlepas, dan memicu tekanan keuangan.

"Sebaliknya, jika mereka bertindak terlalu lambat, kemungkinan terjadinya tekanan keuangan yang lebih dalam di masa mendatang pun meningkat," tulisa RBA, dalam laporan kebijakan moneternya per Oktober.

Oleh karenanya, pekan depan akan menjadi pekan yang patut dicermati seputar penyelesaian Evergrande ini. Apakah perseroan menemukan solusi taktis mengatasi kewajibannya tanpa memicu kepanikan pasar, ataukah mereka angkat tangan dan diambil alih pemerintah China.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular