Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah kembali memberikan pengampunan kepada wajib pajak di Indonesia melalui program pengungkapan sukarela yang tertuang di dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Atau istilah ini lebih dikenal dengan Tax Amnesty.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan program pengungkapan sukarela wajib bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.
Seluruh aturan legislasi di dalam negeri dan kerjasama internasional diperkuat untuk mempersempit probabilitas masyarakat atau wajib pajak dan pengusaha untuk bisa melakukan penghindaran pajak.
Tax Amnesty Jilid II ini juga, kata Sri Mulyani untuk bisa memberikan kesempatan peserta Tax Amnesty Jilid I yang belum melaporkan harta kekayaannya sebelum 31 Desember 2015, untuk terhindar dari upaya hukum.
"Maka kami memberikan pengungkapan sukarela sebagai satu kesempatan sebelum langkah-langkah law enforcement dilakukan sesuai diatur dalam UU HPP ini " jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers, Kamis (7/10/2021) malam.
Pelaksanaan Tax Amnesty Jilid II ini, akan berlangsung selama 6 bulan, mulai dari 1 Januari hingga 30 Juni 2021. Sri Mulyani berharap, melalui program pengungkapan sukarela ini bisa meningkatkan pelaporan dari kewajiban perpajakan yang selama ini belum dilaporkan.
Terdapat dua kebijakan yang bisa masyarakat ikuti dalam Tax Amnesty Jilid II ini. Pertama, kebijakan untuk wajib pajak orang pribadi (WP OP) dan orang pribadi yang sudah pernah menjadi peserta Tax Amnesty Jilid II, dengan basis aset yang diperoleh sebelum 31 Desember 2015.
Kedua, adalah untuk WP yang selama ini belum melaporkan kekayaannya yang didapat pada 2016 sampai 2020 dan belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak.
Kebijakan I
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, pada kebijakan pengungkapan sukarela ini diperuntukan untuk para wajib pajak yang sudah mengikuti tax amnesty 2015 ke belakang lalu atau peserta Tax Amnesty Jilid I yang diselenggarakn pada 2016-2017.
"Ini untuk tahun pajak 2015 ke belakang dengan aset yang diperoleh sebelum 31 Desember 2015 yang waktu itu belum diungkapkan dalam tax amnesty," jelas Sri Mulyani.
Dalam program pengungkapan sukarela ini, para wajib pajak diberikan dengan tiga kategori, yang semua ratenya di atas yang sudah berlaku pada Tax Amnesty Jilid I.
Seperti tertuang dalam UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, saat itu pengampunan pajak diberikan kepada WP yang hartanya ada di dalam negeri atau luar negeri yang diinvestasikan di Indonesia, dengan rentang PPh final pada kisaran 2% sampai 10%.
Sementara pada Tax Amnesty Jilid II, PPh final ditetapkan dalam rentang 6% sampai 11%. Berikut rinciannya:
a. 11% untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri.
b. 8% untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri.
c. 6% untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri, yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA) dan energi terbarukan.
Berikut skema perhitungannya:
Mr. A sudah mengikuti tax amnesty 2015, namun dia memiliki sebuah rumah di Indonesia yang ternyata belum diungkapkan dalam Tax Amnesty Jilid I sebelumnya, dan rumah tersebut dimiliki per 31 Desember 2015.
Misal, harga rumah tersebut senilai Rp 2 miliar, maka sekarang Mr. A berkesempatan melaporkan kekayaan rumahnya tersebut untuk menghindari sanksi di dalam program pengungkapan sukarela.
Karena dalam bentuk rumah dan hanya deklarasikan hartanya di dalam negeri, maka tarif PPh Final yang dikenakan kepada Mr. A adalah sebesar 8%.
Maka 8% dikali dengan nilai rumah Rp 2 miliar. Kewajiban pajak yang harus dibayarkan oleh Mr. A ke negara sebesar Rp 160 juta untuk harta yang belum diungkap dalam Tax Amnesty Jilid I.
Kebijakan II
Sementara itu, untuk kebaikan kedua dalam program Tax Amnesty Jilid II ini, berlaku bagi wajib pajak yang selama ini belum melaporkan kekayaan yang diperolehnya pada 2016-2020 dan belum dilaporkan dalam SPT 2020.
Maka wajib pajak diberikan kesempatan dengan tarif PPh Final sebesar:
a. 18% untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri.
b. 14% untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri.
c. 12% untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri, yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA) dan energi terbarukan.
Berikut skema perhitungannya:
Mr. B memiliki dua rumah dan satu rekening yang semua lokasinya di dalam negeri yang diperoleh selama 2016-2020, namun belum diungkapkan dalam SPT 2020.
Dua rumah Mr. B nilainya Rp 3 miliar dan satu rekeningnya di bank senilai Rp 1 miliar. Kedua hartanya tersebut ternyata belum dideklarasikan.
Mr. B bisa mengikuti program pengungakapan sukarela dengan mendeklarasikan rekening senilai Rp 1 miliar untuk dibelikan pada SBN. Maka tarif PPh final yang dikenakan kepada Mr. B adalah 12%.
Sehingga kewajiban pajak yang harus dibayar oleh Mr. B yakni 12% dikali Rp 1 miliar. Kewajiban pajak Mr. B yang harus disetorkan ke negara sebesar Rp 120 juta.