Pak Jokowi Kudu Kejar Pajak Orang Kaya, Bukan Ampuni Dosanya!
Jakarta, CNBC Indonesia - Program pengampunan pajak atau Tax Amnesty Jilid II yang kini berupa pengungkapan harta wajib pajak secara sukarela, diperkirakan tidak akan membuat penerimaan negara bertambah signifikan.
Program pengungkapan harta wajib pajak secara sukarela tersebut tertuang di dalam draf Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) yang akan disahkan menjadi undang-undang pada sidang paripurna yang berlangsung pada Kamis, 7 Oktober 2021.
Berkaca dari pengalaman Tax Amnesty Jilid I pada 2016 silam, program ini jauh dari target pemerintah. Program ini diikuti oleh 965.983 peserta wajib pajak orang pribadi dan badan. Total deklarasi dana mencapai Rp 4.866 triliun.
Dari data pelaporan harta di luar negeri yang mencapai Rp 1.036,7 triliun, hanya Rp 146,7 triliun yang bisa kembali ke dalam negeri. Adapun realisasi uang tebusan hanya mencapai Rp 130 triliun, lebih rendah dari perkiraan pemerintah Rp 165 triliun.
Target yang tercapai itu, menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Tauhid menunjukan tak ada jaminan program Tax Amnesty Jilid II efektif menambah penerimaan negara.
"Saya kira saat Tax Amnesty Jilid I dan AEoI terjadi, nyatanya tidak semua negara mau memberikan data dan informasi yang cukup lengkap. [...] Masing-masing negara, belum sepakat untuk rela dana yang disimpan di luar negeri itu mau berpindah ke Indonesia," ujarnya dalam Program Power Lunch CNBC Indonesia TV, Senin (4/10/2021).
AEoI yang dimaksud adalah Automatic Exchange of Information, yaitu skema pertukaran informasi yang melibatkan transmisi sistematis dan periodik atas informasi wajib pajak yang dilakukan secara massal oleh negara asal ke negara tempat wajib pajak terdaftar sebagai residen pajak.
"Tanpa ada TA jilid 2, harusnya memang sudah tertangkap banyak hal WP yang memiliki rekening jumbo itu masuk ke sistem perpajakan kita, sehingga ini bisa menjadi jalan menambal kekurangan perpajakan kita di tengah pandemi," kata Ahmad melanjutkan.
Ekonom senior Ichsanuddin Noorsy mengungkapkan, seharusnya pemerintah menyelesaikan permasalahan 'kejahatan' pajak yang ada di depan mata. Kejahatan pajak yang dimaksud adalah strategy transfer pricing atau penentuan harga transfer pricing.
Transfer pricing merupakan konsekuensi logis dari strategi grup perusahaan yang bertujuan untuk menciptakan keunggulan kompetitif melalui sinergi antar afiliasi.
Transfer pricing baru bisa dianggap manipulatif jika akibat pengaruh pengendalian-transaksi antar afiliasi sengaja didesain untuk menghindari beban pajak.
Oleh karenanya, otoritas pajak hanya diperkenankan melakukan koreksi selama harga atau laba atas transaksi tersebut tidak wajar. Hal ini dapat diuji melalui penerapan prinsip kewajaran arm's length principle (ALP).
Menurut Ichsanuddin, tidak dapat dipungkiri bahwa skema manipulasi transfer pricing perlu untuk menjadi perhatian otoritas pajak.
"Potensi penerimaan dari strategic transfer pricing mencapai ratusan juta dollar, itu sampai pihak-pihak tertentu melibatkan lobi tingkat tinggi. Untuk menutupinya harus melibatkan level menteri," ujarnya saat dihubungi CNBC Indonesia.
"Ada kejahatan-kejahatan perpajakan yang tampaknya pemerintah tak berdaya dan mengampuni kesalahan lain. [...] Tax Amnesty Jilid II ini bukan tidak mampu mengungkapkan kesalahan perpajakan yang dibiarkan dan malah diampuni," ujarnya lagi.
Seperti diketahui pemerintah dan Komisi XI DPR menyepakati tahap pertama RUU HPP. Salah satu aturan pajak yang diatur dalam RUU HPP ini adalah pengampunan pajak atau Tax Amnesty untuk para pengemplang.
Jika RUU HPP disahkan untuk menjadi undang-undang, maka ini adalah kali kedua dalam sejarah Indonesia dan dalam periode pemerintahan yang sama atau pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Tax Amnesty berlangsung.
(mij/mij)