
Menlu Retno Bawa Misi Pemerataan Vaksin di Sidang PBB

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi memaparkan beberapa fokus yang dibahas pada pertemuan Sidang Majelis Umum PBB ke-76, yang berlangsung di New York 27-28 September lalu. Dalam Pertemuan Menteri Luar Negeri dan Kesehatan Global (FPGH), Retno menyoroti penanganan pandemi Covid-19 dan dan ketidaksiapan dunia dalam menghadapi pandemi hingga diskriminasi vaksin.
Pertemuan yang dihadiri oleh tujuh negara anggota yakni Indonesia, Afrika Selatan, Brazil, Norwegia, Perancis, Senegal dan Thailand. Dia menegaskan respon terhadap pandemi dan persiapan menghadapinya bukan hanya masalah kesehatan, melainkan juga isu penting dalam politik luar negeri. Selain itu, pandemi yang terjadi saat ini menurutnya harus dijadikan introspeksi atas ketidaksiapan dan ketidakmampuan negara-negara dalam menghadapinya.
"Harus diakui dunia tidak cukup memberikan perhatian baik dari sisi investasi waktu dan sumber daya dalam membangun infrastruktur kesehatan global yang lebih baik. Pandemi semakin menunjukkan pentingnya semua elemen masyarakat internasional untuk meningkatkan kerja sama internasional dalam isu kesehatan," ujar Retno dalam siaran resminya, Kamis (30/9/2021).
Dia pun menegaskan anggota FPGH harus harus menjadi pendukung utama untuk mempromosikan kesetaraan akses vaksin bagi semua dan menolak diskriminasi vaksin. Kemudian, pentingnya pembangunan infrastruktur kesehatan yang lebih kuat sebagai fondasi dan modal dasar infrastruktur kesehatan global.
"Untuk itu diperlukan kemitraan guna membantu industri kesehatan di negara berkembang, utamanya meningkatkan kapasitas produksi dan distribusi serta mempercepat penelitian dan pengembangan obat serta vaksin," kata dia.
Selain itu, diperlukan upaya memperkuat tata kelola kesehatan global termasuk WHO untuk menghadapi masalah kesehatan dunia. Menlu juga mendukung perjanjian internasional baru mengenai pandemi sebagai langkah strategis untuk memperkuat kerja sama guna mendeteksi serta mencegah pandemi di masa mendatang dan memastikan akses terhadap teknologi medis bagi negara berkembang.
Pada pertemuan non-PBB, yakni Gavi Board dengan para co-chairs COVAX Advance Market Commitment (AMC) Engagement Group dilakukan pembahasan untuk membangun strategi dan menjawab tantangan negara anggota COVAX Facility.
Retno mengatakan ada dua masukan kepada Dewan GAVI, yakni kendala ketersediaan pasokan vaksin. Untuk memenuhi 11 miliar dosis vaksin hingga pertengahan 2022 diperlukan upaya keras muai dari meningkatkan produksi dan berbagai dosis vaksin.
Produsen vaksin harus mampu meningkatkan kapasitas produksinya dan sudah saatnya negara berkembang dimasukkan dalam rantai pasokan vaksin global. Sementara untuk dose-sharing mechanism, negara yang memiliki kelebihan vaksin dapat berbagi vaksin kepada negara yang membutuhkan.
"Saya sebutkan bahwa pembentukan pusat manufaktur vaksin mRNA yang sudah dilakukan di Afrika Selatan harusnya direplikasi di wilayah lain untuk mempercepat peningkatan produksi vaksin. Untuk kawasan Asia Pasifik Indonesia siap untuk menjadi hub," kata Retno.
Untuk berbagi dosis vaksin, dia pun meminta negara-negara dengan kelebihan pasokan dosis harus berbagi dosisnya dengan lebih transparan, menyampaikan waktu pengiriman, dan menghindari berbagi dosis vaksin yang sudah akan habis masa berlakunya.
Selanjutnya, Retno juga menyoroti tentang diskriminasi vaksin. Pasalnya, beberapa negara melarang pelaku perjalanan lintas batas meskipun telah divaksin dengan jenis yang mendapatkan EUL dari WHO. Kalaupun boleh masuk namun harus mendapatkan booster dari vaksin yang telah diakui oleh otoritas mereka. Secara tegas dia meminta WHO, GAVI, COVAX Facility melakukan joint effort untuk mencegah diskriminasi vaksin ini terus terjadi.
"GAVI Council juga sangat mengkhawatirkan diskriminasi ini dan akan berupaya untuk menangani bersama dengan WHO," ujar dia.
(rah/rah)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sederet Peran RI Dalam Misi Pemeliharaan Perdamaian Dunia