Kok Bisa Negara Semaju China Krisis Listrik Sih?
Jakarta, CNBC Indonesia - China tengah dihantam krisis listrik, karena kekurangan pasokan batu bara dikombinasikan dengan permintaan daya yang kuat dari industri dan rumah tangga. Kondisi ini pula yang mendorong harga batu bara terus mencetak rekor tertinggi, dan memicu pembatasan penggunaan listrik yang meluas.
Mengutip Reuters, Kamis (30/09/2021), pengamat perubahan iklim bersikeras mengatakan bahwa isu lingkungan yang lebih ketat di Beijing tidak bisa disalahkan atas krisis energi saat ini. Memang, China telah berfokus pada pengurangan konsumsi daya, bukan pada produksi batu bara.
Sebaliknya, sistem penetapan harga listrik China yang sangat dikontrol pemerintah mencegah produsen listrik membebankan lonjakan harga batu bara kepada konsumen, sehingga membuat mereka tidak punya pilihan selain menderita kerugian atau mengurangi output.
Berikut sejumlah isu terkait krisis listrik di China, seperti dikutip dari Reuters, Kamis (30/09/2021):
Apa Penyebabnya?
Krisis listrik telah terjadi karena kombinasi yang sempurna akibat kekurangan pasokan batu bara, pengurangan emisi karbon di mana standar emisi gas rumah kaca diperketat, dan meningkatnya permintaan listrik yang besar dari industri. Pada akhirnya, turut mendongkrak harga batu bara ke puncak.
Perlu diketahui, produksi listrik China meningkat sebesar 616 Terawatt-hours (13%) selama Januari-Agustus 2021 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Pertumbuhan konsumsi dipimpin oleh sektor jasa (+22%) dan industri primer (+20%), dengan peningkatan yang agak lambat tetapi masih cepat dari manufaktur (+13%) dan pengguna perumahan (+8%).
Sebagian besar peningkatan telah dipasok oleh pembangkit listrik termal, terutama Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, yang meningkatkan output sebesar 465 TWh (14%) dalam delapan bulan pertama, menurut Biro Statistik Nasional (NBS).
Sementara output dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sebenarnya sedikit turun pada tahun ini dan berjalan pada level terendah sejak 2018, sehingga mengintensifkan tekanan pada pembangkit listrik termal untuk menutupi kekurangan tersebut.
Unit pembangkit termal berjalan rata-rata 2.589 jam dalam tujuh bulan pertama tahun ini, naik 12% dari 2.321 tahun lalu, menurut China Electricity Council, yang mewakili produsen listrik.
Meningkatnya produksi PLTU berdampak pada peningkatan permintaan batu bara. Tapi produksi batu bara di dalam negeri hanya tumbuh 6% dibandingkan tahun lalu. Akibatnya, stok batu bara semakin menipis dan mendorong peningkatan harga.
Harga batu bara naik lebih dari dua kali lipat menjadi hampir US$210 per ton dari hanya US$90 per ton pada tahun lalu, berdasarkan kontrak yang paling aktif diperdagangkan di Zhengzhou Commodity Exchange.
Ditambah dengan adanya sengketa dagang dengan Australia, membuat pasokan batu bara juga terbatas. Australia merupakan eksportir batu bara terbesar kedua di dunia.
Selain itu, harga listrik yang dikontrol negara juga turut andil dalam krisis ini. Produsen listrik tidak bisa membebankan lonjakan harga batu bara kepada konsumen, sehingga membuat mereka tidak punya pilihan selain menderita kerugian atau mengurangi output.
Berapa Lama Krisis Listrik Terjadi di China?
China sering berjuang untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan listrik, dengan perencanaan pemerintah pusat yang sering meremehkan pertumbuhan permintaan, meninggalkan banyak provinsi pada risiko pemadaman listrik selama musim panas dan musim dingin puncak konsumsi musim.
Tahun ini, kombinasi sempurna dari pemicu badai krisis listrik ini muncul bersamaan, termasuk beberapa gangguan pasokan batu bara dan lonjakan permintaan dari industri dan rumah tangga, telah menyebabkan kekurangan listrik di seluruh negeri. Namun, sistem penetapan harga listrik oleh negara yang kaku dipandang sebagai penyebab utama.
Kenapa Sistem Tarif Listrik China Disalahkan?
Salah satu krisis listrik terbesar di China sempat terjadi pada musim dingin 2010-2011, ketika badai salju mengganggu pasokan batu bara dan merusak jaringan transmisi listrik di negara Tirai Bambu ini.
Namun, para pengembang pembangkit listrik yang mengkhawatirkan profitabilitasnya memperburuk kondisi dengan menguras stok batu bara mereka, dengan tujuan bisa memperpanjang negosiasi harga dengan pemasok batu bara.
Meskipun China sejak itu membiarkan tarif listrik berfluktuasi jika biaya batu bara mencapai tingkat tertentu, para pengembang listrik masih belum bebas menaikkan harga listrik dengan secepatnya untuk menghindari kerugian.
Beberapa pembuat kebijakan pada 2019 lalu telah memberi peringatan bahwa China perlu membangun lebih banyak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara untuk mencegah risiko kekurangan listrik selama periode 2021-2025, tetapi kapasitas pembangkit yang ada masih sangat kurang dimanfaatkan, sehingga ini menunjukkan bahwa banyak pembangkit tidak memiliki insentif ekonomi yang cukup untuk beroperasi.
(wia)