
PPN Mau Naik? Siap-siap Daya Beli Rakyat Tercekik!

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia sudah bertahun-tahun mengenakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10%. Dalam perubahan terbaru Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), pemerintah punya rencana untuk menaikkan tarif secara bertahap hingga ke 12%.
Akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menggelontorkan stimulus triliunan rupiah. Bantuan sosial, subsidi pajak, dan sebagainya disalurkan kepada rakyat untuk membantu bertahan hidup di tengah terpaan pandemi.
Gara-gara pandemi juga, modal untuk mendanai stimulus itu sangat terbatas. Ya, pandemi yang menghantam perekonomian membuat setoran pajak seret. Sebab, penerimaan pajak bergantung kepada aktivitas ekonomi. PPN, misalnya, mencerminkan transaksi di perekonomian.
Akibatnya, utang pemerintah membengkak. Per akhir Agustus 2021, total utang pemerintah adalah Rp 6.625,43 triliun. Naik Rp 55,27 triliun dari bulan sebelumnya.
Sudah dua tahun APBN kerja keras bagai kuda. Kini, seiring pandemi yang mulai terkendali, mungkin sudah saatnya menarik tali kekang. APBN tidak bisa terus-terusan ngebut, harus ada rem.
Dalam Rancangan APBN 2022, pemerintah menargetkan defisit anggaran di 4,85% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Turun dibandingkan rencana di APBN 2021 yang sebesar 5,82% PDB.
Untuk itu, setoran pajak harus naik. Untuk 2022, penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp 1.265 triliun. Naik 2,88% dari target tahun ini. Salah satu cara untuk mengejar kenaikan target itu adalah menaikkan tarif PPN.
PPN merupakan salah satu kunci dalam penerimaan pajak, dengan sumbangsih 40,84% terhadap total setoran pajak per Agustus 2021. Dalam 10 tahun terakhir, penerimaan PPN rata-rata tumbuh 7,52% per tahun.
Halaman Selanjutnya --> PPN Naik, Daya Beli Rakyat Tercekik