Fakta Krisis Hantam China: Ambisi Xi Jinping, Ekonomi Warning
Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis energi saat ini nyatanya tak hanya menghantam Inggris. Ini juga menghantam 'raksasa' Asia, China.
Negara Presiden Xi Jinping itu kini mengalami defisit listrik. Bahkan, krisis ini telah membuat17 provinsi dan wilayah mengalami pemadaman listrik dalam beberapa bulan terakhir.
Pemadaman diketahui bisa terjadi hingga beberapa kali dalam sehari. Perusahaan Jaringan Negara China mengatakan berusaha sekuat tenaga untuk mengatasi sulitnya pasokan listrik.
"Pemadaman listrik delapan kali sehari, empat hari berturut-turut... Saya tidak bisa berkata-kata," tulis seorang warga dari Provinsi Liaoning yang frustrasi, dilansir dari AFP.
Bukan hanya warga yang terdampak. Krisis juga menganggu produksi. Bahkan sejumlah pabrik mengalami gangguan operasi yang berujung ke pemangkasan produksi.
Lalu apa saja fakta-fakta lain yang meliputi krisis ini? Berikut ulasannya sebagaimana dirangkum CNBC Indonesia.
1.Ambisi Xi Jinping?
Transisi energi yang sedang dilakukan China merupakan salah satu sebab ini terjadi. Presiden Xi Jinping sendiri memiliki target yang cukup ambisius dalam mengurangi emisi karbon pada 2030.
Ia berencana untuk mulai menghentikan operasional pembangkit batu bara dan menggantinya dengan energi terbarukan. China sudah mengharuskan provinsi-provinsi menggunakan lebih sedikit bahan fosil, termasuk membakar sedikit batu bara untuk menghasilkan listrik.
Namun untuk mencapai target itu, dibutuhkan pembangunan100 giga watt pembangkit tenagasurya dan 50 giga watttenaga angin setiap tahun. Apalagi untuk menyeimbangkan kenaikan konsumsi sebesar 5%.
Hal ini jauh dari pertumbuhan energi terbarukan tahunan China yang baru mencapai setengah dari itu.
"Pertumbuhan China telah didorong selama beberapa dekade oleh kredit dan karbon, dan Beijing akhirnya tampaknya mulai serius untuk mengubahnya," ujar ekonom Bloomberg, David Fickling.
"Tekad Beijing yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam menegakkan konsumsi energi dan batas intensitas dapat menghasilkan keuntungan jangka panjang yang tak ternilai, tetapi biaya jangka pendek untuk ekonomi riil dan pasar keuangan sangat besar," tulis analis Nomura dikutip CNN Internasional.
Halaman 2>>
(sef/sef)