Inggris-China Krisis Energi Demi Tekan Emisi, RI Gimana Nih?

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
28 September 2021 13:12
Krisis bahan bakar minyak (BBM) di Inggris. (AP/Jon Super)
Foto: Krisis bahan bakar minyak (BBM) di Inggris. (AP/Jon Super)

Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia kini terus mengampanyekan pengurangan energi fosil dan meninggalkan batu bara demi menekan emisi karbon. Namun, tak selalu berjalan mulus, setiap kebijakan baru pasti ada dampak negatifnya. Itu pun yang kini dirasakan oleh beberapa negara seperti Inggris dan China.

Kedua negara ini harus rela membayar mahal atas kampanye untuk pengurangan energi fosil. Kedua negara tengah mengalami hantaman krisis energi.

Inggris yang cenderung memilih menggunakan gas dan energi baru terbarukan, seperti tenaga angin, sebagai sumber energi pembangkit listriknya, kini harus dihadapi dengan melemahnya pasokan energi terbarukan dari angin dan lonjakan harga gas yang telah mencapai 250% dibandingkan awal tahun.

Alhasil, produsen pembangkit listrik di negeri Ratu Elizabeth itu kembali beralih menggunakan bahan bakar batu bara karena ongkosnya lebih murah dibandingkan gas.

Di Eropa, biaya pembangkitan listrik dengan gas alam adalah EUR 75,32/MWh pada 21 September 2021. Dengan batu bara, harganya hanya EUR 44,18/MWh. Ini membuat batu bara kembali menjadi primadona, bahkan di Eropa yang menjunjung tinggi isu ramah lingkungan.

Ini menjadi potret bahwa transisi perpindahan dari energi fosil ke energi yang lebih ramah lingkungan tidak semudah itu dijalankan.

Hal ini diakui perusahaan pembangkit listrik, Drax, Kamis (23/9/2021). Ketergantungan pada gas alam yang harganya naik dua kali lipat sejak Mei, membuat otoritas mengambil jalan ini sebagai solusi listrik tetap menyala bagi warga.

"Fasilitas ini (PLTU) telah memenuhi peran penting dalam menjaga lampu warga agar tetap menyala saat sistem energy berada di bawah tekanan yang cukup besar," kata Drax dalam sebuah pernyataan ke AFP, Jumat (24/9/2021).

Drax memiliki PLTU terbesar di negara itu. Terletak di Yorkshire Inggris Utara.

"Kami sadar, negara ini mungkin memiliki masalah mendesak sekarang dan jika ada sesuatu yang dapat dilakukan Drax, kami akan melakukannya," tegas Chief Executive Will Gardiner kepada Financial Times.

Begitu pun dengan China. Presiden China Xi Jinping di sidang PBB pekan lalu menegaskan bahwa China menargetkan akan mengurangi emisi karbon pada 2030. Untuk mencapai target pengurangan emisi karbon ini, China berencana mulai menghentikan operasional pembangkit listrik berbasis batu bara dan menggantinya dengan energi terbarukan.

Namun untuk mencapai target itu, dibutuhkan pembangunan 100 Giga Watt pembangkit tenaga surya dan 50 Giga Watt (GW) tenaga angin setiap tahun untuk menyeimbangkan kenaikan konsumsi sebesar 5%. Hal ini jauh dari pertumbuhan energi terbarukan tahunan China yang baru mencapai setengah dari itu.

"Pertumbuhan China telah didorong selama beberapa dekade oleh kredit dan karbon, dan Beijing akhirnya tampaknya mulai serius untuk mengubahnya," ujar ekonom Bloomberg, David Fickling.

Target ambisius Xi Jinping ini pun memakan "korban". Sebagian besar pembangkit listrik berbasis batu bara atau bertenaga fosil telah dihentikan. Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional pada akhir pekan menyebut bahwa kelangkaan energi ini telah mengganggu produksi sejak Juni.

Akibatnya, sejumlah industri terganggu, seperti pabrik pupuk, aluminium, tekstil, hingga kedelai.

Tak sampai di situ, kini Negeri Tirai Bambu ini harus menghadapi krisis energi. Warga di beberapa provinsi di utara kini dilanda pemadaman listrik. Ini terjadi setidaknya di Provinsi Guangdong, pusat industri, lalu Liaoning, Jilin dan Heilongjiang. Warga mengalami pemadaman listrik selama akhir pekan.

Kini, orang-orang diminta untuk mengatur AC mereka di atas 26 derajat celcius agar pasokan bisa tetap terjaga. Bukan hanya listrik, warga juga harus bersiap dengan pemadaman air.

Di tengah pengorbanan menuju transisi energi bersih yang dialami kedua negara tersebut, bagaimana dengan Indonesia? Apalagi, pemerintah Indonesia kini juga menggencarkan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) demi menekan emisi. Apakah Indonesia sudah siap bila suatu saat harus mengalami krisis energi di saat ekonomi mulai bangkit?

Saat sejumlah negara harus "berperang" melawan krisis energi imbas kampanye anti energi fosil demi pengurangan emisi global, pemerintah Indonesia tetap menggencarkan transisi energi baru terbarukan (EBT).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, mengatakan pemerintah tetap fokus mencapai target bauran energi baru terbarukan sebesar 23% pada 2025 dari saat ini masih 11,2%.

"Pengembangan EBT salah satu fokus kita saat ini, bauran EBT kita 11,2%. Capaian ini masih jauh dari 23% di tahun 2025," ungkapnya dalam sambutan acara 'Hari Jadi Pertambangan dan Energi ke-76, Energi Tumbuh Energi Tangguh' melalui akun YouTube, Selasa (28/09/2021).

Dia pun optimistis akan menaikkan porsi energi baru terbarukan, khususnya di sektor ketenagalistrikan. Salah satu upaya mencapai target tersebut yaitu pemerintah telah menyusun Grand Strategi Energi Nasional (GSEN). Dalam GSEN ini, pemerintah menargetkan penambahan kapasitas EBT sebesar 38 GW hingga 2035 mendatang.

"Ini dilakukan melalui substitusi energi primer, konversi energi primer fosil, penambahan kapasitas EBT, dan pemanfaatan EBT non listrik dan non BBM," lanjutnya.

Salah satu energi terbarukan yang akan didorong pemanfaatannya yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Menurutnya, semakin murahnya biaya investasi dan semakin singkatnya pemasangan PLTS ini, ini bisa mendorong bauran energi terbarukan dengan cepat.

Selain itu, demi menuju netral karbon, pemerintah juga tengah menyusun strategi jangka panjang, antara lain pengembangan EBT secara masif, pengurangan pemanfaatan energi fosil, pemanfaatan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS), pemanfaatan kendaraan listrik, dan lainnya.

"Dalam mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi tidak dapat terjadi tanpa dukungan dari berbagai pihak atau stakeholder yang investasinya berasal dari swasta maupun APBN," tuturnya.

Partisipasi investasi swasta, imbuhnya, diharapkan dapat melaksanakan pengelolaan penyediaan, distribusi energi ke seluruh wilayah Indonesia, baik BUMN maupun Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).

"Tantangan dalam mengelola energi dan sumber daya ke depan makin kompleks. Keterlibatan pemangku kepentingan mutlak. Saya harap sektor ini dapat jadi sektor andalan bagi kemajuan perekonomian bangsa," harapnya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Saat Inggris Kembali ke Batu Bara, RI Mau Tinggalkan PLTU

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular