Dilema Penghapusan BBM Premium: Lingkungan vs Daya Beli Warga

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
24 September 2021 15:12
Ilustrasi Pengisian BBM di SPBU Pertamina (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Pengisian BBM di SPBU Pertamina (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Wacana mengenai penghapusan bahan bakar minyak (BBM) jenis bensin dengan nilai oktan (RON) 88 atau Premium sudah lama bergulir. Akan tetapi, sampai saat ini wacana tersebut tak kunjung terealisasi.

Ekonom INDEF Abra El Talattov menyatakan bahwa penghapusan bensin Premium di Indonesia menjadi sebuah dilema, di satu sisi kualitas BBM jenis Premium ini buruk bagi lingkungan, namun di sisi lain daya beli masyarakat akan terpukul jika tiba-tiba Premium ini dihapus.

"Memang ini dilematis kalau bicara penghapusan BBM Premium karena tentu ada plus minus. Plusnya kita tahu, dari sisi lingkungan dan bagaimana kurangi beban APBN untuk belanja atau biaya kompensasi BBM Premium. Minusnya, pemerintah harus hitung dengan cermat dampak ekonomi dan sosial apakah dampaknya lebih besar," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (24/09/2021).

Apalagi setelah diserang pandemi, tahun depan menurutnya akan menjadi masa untuk pemulihan (recovery) ekonomi. Daya beli masyarakat saat ini menurutnya belum sepenuhnya pulih. Untuk itu, menurutnya daya beli masyarakat juga perlu diperhitungkan untuk menggenjot produktivitas.

Jika tiba-tiba Premium dihapus, maka masyarakat harus beralih ke BBM dengan nilai oktan (RON) lebih tinggi seperti Pertalite atau Pertamax. Kenaikan biaya BBM yang harus dikeluarkan masyarakat akan bertransmisi juga pada kenaikan harga produksi. Ujungnya, bisa berdampak pada kenaikan inflasi.

"Dan juga harga jual produk-produk dari masyarakat. Ini juga harus dilihat, multiplier effect seperti apa, pada inflasi dan daya beli masyarakat," tuturnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, momentum juga perlu menjadi pertimbangan, apalagi saat ini harga minyak mentah dunia tengah naik, bahkan sempat menyentuh US$ 70 per barel dan Indonesian Crude Price (ICP) tahun depan diprediksi US$ 63 barel.

"Apakah harga BBM RON 90 ke atas stabil di tahun depan, kita juga harus perhitungkan," ujarnya.

Di dunia saat ini hanya tersisa empat negara yang masih menjual Premium, sebagaimana disampaikan Menteri ESDM Arifin Tasrif beberapa waktu lalu. Dan Indonesia menjadi satu-satunya negara yang masih menjual BBM RON 90 atau Premium di ASEAN.

Menurut Abra, yang perlu diperbandingkan tidak hanya RI sebagai satu-satunya negara yang masih jual Premium di ASEAN, namun juga daya beli. BBM RI masih lebih mahal dari Malaysia, karena adanya biaya distribusi yang lebih tinggi dari aspek geografis dan lainnya.

"Ini keunikan masing-masing negara, perlu dijadikan pertimbangan apakah ketika Premium dihapus, masyarakat masih bisa akses ke BBM terjangkau. Kenaikan cost tertentu akan menggerus kemampuan mereka untuk komponen tertentu," paparnya.

Soal daya beli, menurutnya jika dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, saat ini Indonesia masih di bawah kedua negara tersebut. Ditambah lagi dengan tingkat kemiskinan yang naik akibat pandemi Covid-19.

"Bagi pemerintah, kalau harus kurangi belanja subsidi, kompensasi atau hapus BBM Premium, masih tingginya jumlah penduduk miskin di RI, di pandemi ini malah naik, ini menjadi aspek penting yang perlu dipertimbangkan," jelasnya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Daftar Harga BBM Solar dan Premium per 1 Juli 2021

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular