Bukan Vale atau Antam, Ini Dia Raja Nikel RI
Jakarta, CNBC Indonesia - Produsen nikel terbesar di Indonesia kini bukan lagi ditempati oleh PT Vale Indonesia Tbk (INCO), meski pada 2014 lalu Vale berkontribusi sebesar 77% dari produksi logam nikel Indonesia.
Adapun "raja" nikel RI saat ini digantikan oleh PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Hal tersebut berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020 yang dipaparkan oleh Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif pada Oktober 2020 lalu.
Irwandy mengatakan, IMIP kini menjadi pemain terbesar di industri nikel Indonesia dengan persentase bahkan mencapai 50% sejak 2018. Menurutnya, hal ini menunjukkan perkembangan industri nikel di Tanah Air berubah sangat cepat.
Berdasarkan data pemaparan Irwandy, pada 2014 industri nikel masih dikuasai Vale sebesar 77%, lalu disusul PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) sebesar 19% dan lainnya 3%. Tak butuh waktu lama dalam mengubah komposisi, pada 2018 industri nikel langsung dikuasai oleh Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Sejak 2018, IMIP disebutkan menguasai sebesar 50%, lalu disusul PT Vale Indonesia Tbk yang kontribusinya turun menjadi sebesar 22%, lalu Virtue Dragon 11%, Harita 6%, Antam juga turun menjadi hanya 5%, serta lainnya sebesar 6%.
"Kalau lihat dari sini, yang perkembangannya perlu kita cermati yaitu bahwa pada 2014 industri nikel dikuasai Vale 77% dan Antam 19% dan lainnya 3%, tapi pada 2018 IMIP menguasai 50% dan Vale turun jadi 22%," tuturnya.
Irwandy mengatakan, sama dengan komposisi yang berubah drastis dari 2014 ke 2018, dia memproyeksikan kondisi yang sama akan berulang di masa depan, yakni pada 2023. Dia memperkirakan komposisi industri nikel pada 2023 juga akan berubah drastis.
"Tahun 2023 komposisinya pasti akan berubah drastis," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, outlook pengembangan smelter cukup signifikan meski sebesar 90% nya masih berupa intermediate product seperti Nikel Pig Iron (NPI).
Saat ini produksi nikel Indonesia masih didominasi oleh produk NPI dan feronikel (FeNi) yang merupakan nikel kelas 2, sementara untuk Nickel-Matte (Ni Matte) dan mixed hydroxide precipitate (MHP) atau nikel kelas 1 masih rendah.
CEO IMIP Alexander Barus mengatakan secara total IMIP memiliki tiga klaster, antara lain sebagai berikut:
1. Klaster Stainless Steel
Klaster ini terdiri dari 44 tungku smelter, mengolah bijih nikel menjadi Nickel Pig Iron (NPI). Selain smelter NPI, klaster ini juga mengolah hingga stainless steel. Kapasitas produksi stainless steel sebesar 3 juta metrik ton (MT) per tahun, lalu kapasitas produksi hot rolled coil 3 juta ton per tahun, dan cold rolled coil 0,5 juta ton per tahun.
2. Klaster Carbon Steel
Klaster ini memproduksi carbon steel dengan kapasitas produksi 3,5 juta ton per tahun dan memakan investasi sebesar US$ 1,1 miliar. Klaster ini menyerap sebanyak 5.000 orang tenaga kerja.
3. Klaster Baterai EV
Klaster ini memproduksi katoda baterai kendaraan listrik. Klaster ini masih dalam tahap pembangunan.
Klaster katoda baterai EV ini terdiri dari sejumlah perusahaan, antara lain:
1. PT Huayue Nickel Cobalt yang memiliki kapasitas produksi 70.000 ton per tahun (Ni-Co).
2. PT QMB New Energy Material dengan kapasitas produksi sebesar 50.000 ton per tahun (Ni Sulfide & Ni-Co).
3. PT Fajar Metal Industry dengan kapasitas 60.000 ton per tahun (Ni Sulfide).
4. PT Teluk Metal Industry dengan kapasitas 60.000 ton per tahun (Ni-Sulfide).
Menurutnya secara total investasi yang dibutuhkan untuk pembangunan klaster ketiga ini sebesar US$ 3 miliar dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 5.000 orang.
(wia)