Kalah di WTO, Kabar Buruk Bagi Ratusan Triliun Investasi RI

Wilda Asmarini, CNBC Indonesia
08 September 2022 14:05
A worker uses the tapping process to separate nickel ore from other elements at a nickel processing plant in Sorowako, South Sulawesi Province, Indonesia March 1, 2012. REUTERS/Yusuf Ahmad
Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad

Jakarta, CNBC Indonesia - Adanya kabar kemungkinan Indonesia bakal kalah dari gugatan Uni Eropa terhadap kebijakan larangan ekspor bijih nikel RI di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) bisa menjadi kabar buruk bagi investasi di negara ini, utamanya yang akan berinvestasi fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel.

Pasalnya, kebijakan larangan ekspor bijih nikel RI sejak 1 Januari 2020 telah mendatangkan investasi dari luar negeri. Tak tanggung-tanggung, perkiraan investasi nikel di Indonesia hingga 2024 mendatang, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), diperkirakan mencapai US$ 8 miliar atau Rp 119 triliun (asumsi kurs Rp 19.000 per US$).

Bila Indonesia benar kalah atas gugatan Uni Eropa ini, maka Indonesia berpotensi harus membuka kembali keran ekspor bijih nikel yang sejak 2020 lalu sudah ditutup.

Salah satu praktisi industri nikel berpendapat, bila kondisi tersebut terjadi dan pemerintah harus mengubah kembali peraturannya, yakni dengan membuka keran ekspor bijih nikel, maka ini akan berdampak signifikan terhadap rencana investasi smelter di Indonesia.

"Kalau memang dibuka (keran ekspor bijih nikel), bisa ada dampak cukup signifikan pada investasi. Buat investasi bisa berdampak negatif," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (08/09/2022).

Menurutnya, dampak terhadap investasi ini terutama akan terlihat pada investor yang masih dalam rencana membangun smelter. Sementara bagi perusahaan yang sedang membangun smelter, kemungkinan tetap akan melanjutkan investasinya.

Pada 2021, tercatat total smelter nikel yang ditargetkan beroperasi pada 2024 mencapai 30 smelter. Dari target 30 smelter tersebut, 15 smelter sudah memiliki kemajuan pembangunan di atas 90% dan ada yang sudah beroperasi, 10 smelter masih dalam tahap pembangunan 30%-90%, dan lima smelter masih kurang 30% progres pembangunannya.

Hal senada diungkapkan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Menurut Bhima, apabila RI kalah di WTO, konsekuensinya paling tidak harus membayar kompensasi kepada pihak yang memenangkan gugatan dengan nilai yang tidak kecil. Selain kompensasi, implementasi hasil gugatan WTO berkorelasi dengan dibukanya kembali keran ekspor bijih nikel ke perusahaan di eropa.

"Meskipun ada rentang waktu pembukaan bijih nikel, tapi keputusan membuka ekspor bijih nikel sebenarnya blunder bagi daya tarik investasi terutama perusahaan China di proyek smelter. Karena 50% lebih penguasaan smelter nikel di Indonesia oleh investor China," ujar Bhima kepada CNBC Indonesia Kamis (8/9/2022).

Lantas dengan adanya kondisi tersebut, bagaimana tanggapan perusahaan tambang yang telah susah payah membangun pabrik pengolahan atau smelter nikel di dalam negeri?

PT Vale Indonesia Tbk (INCO) misalnya, selaku perusahaan tambang dan pengolahan nikel yang saat ini juga tengah membangun smelter untuk bahan baku baterai, perusahaan mengaku belum ingin berkomentar lebih jauh terkait isu ini.

Hanya saja, manajamen masih menanti keputusan dari kelanjutan gugatan yang masih berlangsung itu.

"Saya tidak ingin berandai-andai dulu. Kita tunggu saja keputusan final," ujar Direktur Keuangan Vale Indonesia Bernardus Irmanto kepada CNBC Indonesia, Kamis (8/9/2022).

Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara mengejutkan menyebut kemungkinan Indonesia akan kalah dari gugatan Uni Eropa di WTO tersebut. Meski belum ada keputusan resmi dari WTO, Jokowi mengaku tidak kecewa dengan apapun hasil dari penyelesaian gugatan di ranah internasional ini karena industri pengolahan dan pemurnian nikel di dalam negeri juga telah terbangun.

"Nggak perlu takut setop ekspor nikel. Dibawa ke WTO nggak apa-apa. Dan kelihatannya kita juga kalah di WTO. Nggak apa-apa, tapi barangnya sudah jadi dulu, industrinya sudah jadi. Nggak apa-apa, kenapa kita harus takut? Kalau dibawa ke WTO kalah. Kalah nggak apa-apa, syukur bisa menang," papar Jokowi dalam acara 'Sarasehan 100 Ekonom' oleh INDEF dan CNBC Indonesia, Rabu (7/9/2022).

"Tapi kalah pun nggak apa-apa, industrinya sudah jadi dulu. Nanti juga sama. Ini memperbaiki tata kelola dan nilai tambah ada di dalam negeri," tambah Jokowi.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Duh, RI Kalah di WTO, Triliunan Modal Bisa Kabur ke Malaysia!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular