Kurangi Emisi, Harga Listrik dari PLTU Bisa Lebih Mahal
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah terus mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) demi menekan emisi karbon. Meski kini mulai terjadi transisi energi dari fosil ke EBT, energi fosil seperti batu bara ke depannya masih bisa dimanfaatkan, tapi sayang dengan konsekuensi ongkos yang lebih mahal.
Satya Widya Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) mengatakan saat ini pemanfaatan batu bara untuk energi listrik dianggap masih lebih murah daripada menggunakan EBT. Namun jika memasukkan faktor biaya eksternalitas, maka biayanya akan menjadi lebih mahal.
Ongkos eksternalitas yang dimaksud tersebut yakni biaya yang memasukkan dampak dari kerusakan lingkungan, termasuk juga nanti akan ada pajak karbon (carbon tax) atau carbon pricing.
"Value dari externality cost yakni kerusakan lingkungan dan termasuk nanti ada carbon tax. Ada dua hal yang berbeda, carbon pricing dan carbon tax. Ini membuat mereka (listrik PLTU) jadi same level, antara EBT dan fosil," paparnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Senin (13/09/2021).
Isu lingkungan saat ini menjadi agenda besar internasional, sehingga ini juga perlu menjadi perhatian sejumlah pemangku kepentingan, baik pemerintah, pengusaha, dan lainnya. Kalau pun batu bara ingin tetap digunakan, maka menurutnya sebaiknya memanfaatkan teknologi penangkapan karbon agar bisa menekan emisi.
"Kita ingin ada kesetaraan di dalam bermain EBT dan non EBT, maka muncul beberapa teknologi, termasuk carbon capture storage," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, batu bara dan minyak bisa menggunakan teknologi Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) meski ongkosnya menjadi jauh lebih tinggi.
"Coal dan minyak, mereka gunakan CCUS, meski cost-nya akan tinggi. Ini bagian dari penurunan emisi karbon," ujarnya.
Sebelumnya, PT PLN (Persero) menyampaikan jika pihaknya punya strategi untuk mencapai netral karbon pada 2060 mendatang. Salah satu strateginya adalah dengan inovasi teknologi CCUS, sehingga PLTU tetap bisa dimanfaatkan tanpa menimbulkan efek gas rumah kaca (GRK).
Direktur Perencanaan Korporat PT PLN (Persero) Evy Haryadi mengharapkan agar dalam 15 tahun ke depan teknologi ini sudah bisa diterapkan secara ekonomis.
Jika ini dilakukan, maka diperkirakan PLTU tua yang perlu dipensiunkan hanya sebesar 1 Giga Watt (GW) dari rencana awal hingga 49 GW sampai 2056 mendatang.
Adapun 1 GW PLTU yang akan dipensiunkan merupakan yang masuk dalam rencana pensiun tahap awal, yakni PLTU Subcritical Tahap Pertama pada 2030.
"Kami perkirakan 2030 sudah bisa di-retirement (dipensiunkan) dan mulai 2035 kita sudah bisa gunakan CCUS," paparnya dalam Webinar: Masa Depan Batu Bara dalam Bauran Energi Nasional, Senin malam (27/07/2021).
(wia)