Ada yang Lebih Ngeri dari Covid, Pengusaha RI Komentar Begini

Emir Yanwardhana, CNBC Indonesia
13 September 2021 16:25
Warga melintas di kolong tol  Ir Wiyoto, Kelurahan Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (18/3/2021). Tumpukan sampah plastik makanan dan limbah rumah tangga Tampak sudah melebur dengan tanah. Pantauan CNBC Indonesia di lokasi warga masih ada yang membuang sampah dilokasi walaupun sudah di tegur dengan warga sekitar. Yanto salah satu warga mengatakan
Foto: Tumpukan Sampah di Kolong Tol Wiyoto Wiyono (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia saat ini tak hanya dihadapkan dengan pandemi Covid-19 yang belum berkesudahan. Namun, juga soal ancaman perubahan iklim yang sedang dan akan terjadi di masa depan. Perubahan iklim efeknya diyakini lebih mengerikan dari pandemi saat ini.

Di Indonesia, soal isu perubahan iklim ini sudah menjadi perhatian banyak pihak termasuk Menkeu Sri Mulyani. Bahkan dari kalangan swasta seperti pengusaha sudah paham betul risiko buruk dari perubahan iklim. 

Apa yang bisa dilakukan dunia usaha?

Contohnya seperti produk kemasan, terjadi masalah penumpukan plastik terjadi di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia isu plastik yang menumpuk juga merusak lingkungan. Perlu ada kesadaran soal sampah plastik tidak dikelola dengan baik.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, mengatakan isu plastik ini menjadi tanggung jawab semua pihak, tidak hanya bisa dibebankan kepada industri.

"Misalnya dari beberapa sumber, Jakarta ini menghasilkan 8.000 - 10.000 ton sampah satu hari, sementara kita tidak punya tempat pemrosesan limbah plastik, paling dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tapi nggak jelas mau dibuat apa, akhirnya menumpuk," kata Hariyadi kepada CNBC Indonesia, Senin (13/9/2021).

Ujungnya pemerintah malah membebankan ke pengusaha, seperti menaikkan harga cukai plastik. Padahal seharusnya sampah ini menjadi tanggung jawab semua pihak termasuk pemerintah daerah yang harus memberikan fasilitas pemrosesan akhir.

"Sampai hari ini kita tidak memiliki tempat pemrosesan sampah," katanya.

"Yang disalahkan jadi industri terus contohnya seperti cukai plastik. Sementara kita perlu kebijakan publik yang jelas," tambahnya.

Sampah plastik dibedakan menjadi dua jenis, yang bisa didaur ulang dan tidak. Namun menurut Hariyadi sampai saat ini belum ada regulasi yang jelas soal pemrosesan sampah. Jadi sampah plastik hanya serampangan dibakar atau ditimbun.

Selain itu, respon industri terkait dari arah ekonomi yang ramah lingkungan yaitu dengan memberlakukan kemasan yang mudah terurai. Tentunya pembuatan kemasan yang ramah lingkungan lebih menambah biaya.

"Tentunya kemasan plastik ramah lingkungan lebih mahal karena dari skala ekonomis belum sampai. Tapi sebenarnya tidak masalah penggunaan kemasan biasa asalkan regulasinya jelas, seperti Singapura mereka tidak melarang penggunaan kemasan plastik, karena regulasi pemrosesannya jelas," kata Hariyadi.

"Jadi silahkan itu didaur ulang, karena secara prinsipnya sampah plastik harus kembali ke plastik, kaleng harus kembali ke kaleng, botol kaca harus kembali ke kaca. Jadi nggak ada masalah tidak harus gunakan kemasan ramah lingkungan. Asalkan kembali ke proses daur ulang," katanya. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyatakan bahwa ada ancaman lain yang saat ini mengancam warga negara seluruh dunia, yang dampaknya sama besarnya dengan pandemi Covid-19.

"Climate change adalah global disaster yang magnitude-nya diperkirakan akan sama seperti pandemi Covid-19," ujarnya dalam ESG (Environmental, Social, and Governance) Capital Market Summit, pada Selasa (27/7/2021).


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kasus Covid-19 Melonjak, Jokowi: Jangan Disikapi Berlebihan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular