
Pak Jokowi Harus Hati-hati, Utang RI Kini Makin Berbahaya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Covid-19 membuat pemerintah harus melebarkan defisit APBN melebihi 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Maka tak heran, utang pemerintah membengkak.
Hingga akhir Juli utang pemerintah pusat tercatat Rp 6.570,17 triliun. Utang ini bertambah Rp 1.135,31 triliun dibandingkan posisi akhir Juli 2020 yang sebesar Rp 5.434,86 triliun.
Dalam RAPBN 2022 dituliskan pemerintah masih akan melakukan penarikan utang baik melalui Surat Berharga Negara (SBN) Rp 991,3 triliun maupun pinjaman Rp 1,75 triliun (neto).
Sementara penerimaan negara, menurut Ekonom Senior Faisal Basri menilai masih jauh dari harapan. Para pelaku usaha sebagai pembayar pajak yang cukup besar masih tertekan akibat pandemi yang tak kunjung usai.
"Utang semakin menggelembung karena pengeluaran pemerintah lebih cepat dari penerimaan perpajakan," ujar Ekonom Senior Faisal Basri dalam tulisannya yang dikutip Rabu (1/9/2021).
Dalam naskah Nota Keuangan dan RAPBN 2022 yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tertera pada akhir tahun 2022 utang pemerintah pusat akan mencapai Rp 8.110 triliun. Ini berarti kenaikan luar biasa dibandingkan pada akhir pemerintahan SBY-JK sebesar Rp 2.610 triliun atau kenaikan lebih dari tiga kali lipat.
Dengan kondisi ini maka rasio utang pada tahun depan diprediksi bisa mencapai 45,3% terhadap produk domestik bruto (PDB). Bahkan bila ditambah dengan utang milik BUMN non keuangan saja, dinilai akan bisa mencapai batas tertinggi dalam UU Keuangan Negara yakni mendekati 60%.
Sebuah analisa dari Nomura Securities menilai bahwa, defisit fiskal yang besar perlahan akan mengecil dengan proses yang lama di beberapa negara berkembang, seperti Indonesia.
Selain itu, beberapa negara berkembang juga dijalankan oleh para pemimpin dengan mempertahankan kebijakan yang populis selama pandemi Covid-19. Sehingga dalam jangka pendek, dapat memilih untuk melanjutkan kebijakan fiskal yang ekspansif.
"Pemulihan ekonomi seharusnya mengangkat pendapatan fiskal, tapi pemerintah mungkin lambat untuk mengurangi pengeluaran, bahkan dapat meningkatkannya untuk membantu mengatasi pemulihan berbentuk K yang tidak merata," jelas Nomura Securities seperti dikutip Rabu (1/9/2021).
"Ada peningkatan risiko dominasi fiskal yang muncul, di mana bank sentral dipaksa oleh pemerintah untuk terus membeli obligasi negara untuk membantu memastikan bahwa defisit fiskal yang besar dapat diatasi."