Banyak "Hantu"-nya, Denda Listrik PLTU Dinilai Beratkan PLN
Jakarta, CNBC Indonesia - PT PLN (Persero) memiliki kontrak perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement/ PPA) dengan pengembang listrik swasta (Independent Power Producers/ IPP), utamanya dengan pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara.
Adapun salah satu skema yang diatur dalam perjanjian jual beli listrik ini terkait denda atau penalti yang disebut skema take or pay (TOP), di mana PLN harus mengambil seluruh pasokan listrik terkontrak atau membayar denda bila tidak mengambil sesuai dengan volume terkontrak.
Di tengah kondisi pandemi Covid-19 saat ini, konsumsi listrik masyarakat anjlok, sehingga ini juga membuat PLN harus menyesuaikan kondisi pasokan dengan permintaan yang ada. Namun dengan adanya skema TOP ini, berarti PLN mau tidak mau harus tetap mengambil listrik atau membayar denda kepada IPP bila pasokan yang diambil tak sesuai dengan kontraknya.
Hal ini tentunya memberatkan PLN sebagai pembeli listrik dari IPP.
Hal tersebut diungkapkan Direktur Tropical Renewable Energy Center Universitas Indonesia (UI) Eko Adhi Setiawan.
Eko menggambarkan, misalnya listrik terkontrak 100 mega watt (MW), meski konsumsinya di bawah 100 MW, tapi PLN harus tetap membayar 100 MW. Seperti diketahui, pada masa pandemi Covid-19 ini, konsumsi listrik masyarakat anjlok.
Oleh karena itu , menurutnya banyak pihak yang mengusulkan agar skema TOP ini dikendalikan, karena dalam hal ini IPP sudah untung. Skema TOP menurutnya perlu ditinjau kembali agar tidak memberatkan PLN.
"Ini susah sekali, ini banyak hantunya, gede-gede dan tokoh-tokoh nasional juga. Harusnya kan BUMN ini mengerti, memang konsekuensi logis," paparnya dalam webinar yang diadakan IESR, Selasa (31/08/2021).
Dia mengatakan, isu TOP ini bukan hanya berkaitan dengan PLN dan pengembang PLTU swasta, tapi juga bisa menyangkut masa depan energi baru terbarukan Indonesia. Pasalnya, bila skema TOP ini terus menghantui PLN, maka akan sulit bagi PLN untuk menerima pasokan listrik dari sumber lainnya, termasuk dari sisi energi terbarukan.
Oleh karena itu, menurutnya ini perlu menjadi perhatian bersama, tidak hanya Kementerian ESDM, tetapi juga Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan.
Berdasarkan data Statistik PLN 2020, kapasitas terpasang pembangkit listrik nasional hingga akhir Desember 2020 tercatat mencapai 63.336,12 Mega Watt (MW). Adapun kapasitas pembangkit milik PLN dan anak usaha mencapai 44.174,79 MW dan selebihnya berasal dari pengembang listrik swasta (IPP). Kapasitas PLTU milik PLN yakni sebesar 20.277,63 MW.
Selama 2020, PLN memberi energi listrik dari luar PLN sebesar 96.519,61 Giga Watt hour (GWh) (35,12%). Adapun total produksi listrik nasional pada 2020 sebesar 274.851,18 GWh.
Adapun biaya pembelian tenaga listrik dan sewa diesel pada 2020 tercatat sebesar Rp 101,75 triliun, sementara pendapatan sebesar Rp 345,41 triliun. Adapun laba tahun berjalan PLN pada 2020 tercatat Rp 5,99 triliun.
(wia)