Bankir Protes Rencana Pajak Baru, Pengusaha Bagaimana?

Lidya Julita Sembiring, CNBC Indonesia
Selasa, 31/08/2021 09:44 WIB
Foto: CNBC Indonesia/ Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah telah menyampaikan draf revisi Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) kepada DPR RI. Pembahasan juga telah dilakukan beberapa kali antar keduanya.

Saat ini pembahasan telah sampai pada tahap dengar pendapat dari para ahli dan badan usaha terkait dengan RUU KUP ini. Dari Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan para pelaku usaha dan asosiasi serta bank BUMN di tanah air semuanya menolak pemberlakuan beberapa pajak yang ada di RUU KUP.

Diketahui, dalam RUU KUP ini ada lima klaster yang akan dibahas yaitu Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Cukai, dan Pajak Karbon.


Penolakan terutama datang terkait dengan penerapan pajak karbon serta naiknya tarif umum Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kenaikan pajak ini dinilai akan semakin memberatkan pelaku usaha terkait pajak karbon dan konsumen terkait kenaikan tarif PPN.

Untuk penetapan pajak karbon, para pelaku usaha dengan tegas menolak dan meminta untuk dikeluarkan dari RUU KUP ini. Setidaknya ada 18 asosiasi yang terdiri dari ratusan pengusaha yang menolak pajak karbon ini.

"Jika melihat dampak dari sisi daya saing dan daya beli, kami memohon kepada komisi XI untuk tidak memasukkan tax carbon di dalam RUU KUP," ujar Ketua Umum Inaplas Edi Rivai saat rapat dengan anggota dewan yang dikutip Selasa (31/8/2021).

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto juga menyampaikan dua poin yang menjadi pertimbangan pihaknya mengapa menolak pajak karbon diterapkan.

Pertama, karena akan mengancam daya saing industri keramik. Apalagi industri keramik saat ini digempur oleh produk impor. Dimana pada semester I-2021 impor keramik dari China, India dan Vietnam melonjak hingga 61% dibandingkan tahun sebelumnya.

Kedua, penerapan pajak karbon akan menyebabkan kenaikan biaya produksi, sehingga akan membebani pelanggan. Dengan demikian, pelanggan akan kabur dan lebih memilih produk dengan harga yang lebih murah seperti impor.

"Di tengah kondisi lemahnya daya beli masyarakat dan murahnya produk impor akan membuat industri keramik semakin terperosok," tegasnya.


(mij/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: APBN Mei 2025 Defisit Rp 21T, Menkeu Klaim Masih Kecil

Pages